Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

"Uang-Uang Dia, Suka-Suka Dia"

Saya sepakat bahwasanya kita tidak berhak ikut campur terhadap kesenangan orang. Sejauh itu bukan uang dari hasil merugikan orang lain, setiap orang berhak membelanjakan uangnya kemana.
Uang-Uang Dia, Suka-Suka Dia

Apakah mau memenuhi lemari dengan pakaian dan tas mahal, memenuhi garasi dengan mobil mewah, memenuhi perut dengan makanan lezat.

Ya, terserah mereka, uang-uang mereka.

Bahkan saat para artis punya tagihan listrik sampai 50 juta sebulan. Itupun hak mereka untuk boros sebenarnya, yang bayar kan bukan kita.

Tapi sayangnya kalau mengaitkannya dengan konsep Hablum Minal Alam, maaf sekali .... izinkan saya tidak sepakat akan hal ini.

Hablum minallah dan Hablum minannas, adalah dua hal sering diingatkan di mimbar-mimbar. Terlampau seringnya, kita bahkan lupa diperingatkan bahwa ada satu hubungan lagi yang agama perintahkan untuk dijaga.

Hablum Minal Alam, atau bagaimana menjaga hubungan dengan alam.

Lalu mari lihat sejenak bagaimana bencana alam makin sering terjadi, bagaimana air yang kita minum dan udara yang kita hirup telah tercemari. Diaper, botol minuman, plastik kemasan makanan, sudah menjadi ancaman bagi daratan dan lautan.

Saya gak sanggup bayangkan akan seperti apa bumi yang ditinggali anak cucu kita nanti kalau sekarang saja tempat pembuangan sampah di Keudah dan Blang Bintang sudah seperti gunung.

Kembali ke pasal "Uang-Uang dia, Suka-Suka Dia."

Manusia kekinian banyak setuju bahwa tidak perlu ikut campur urusan orang lain, karena kalau ikut campur, nanti dibilang iri.

Padahal kalau kita memahami tentang barang "kepemilikan", dimana semua yang kita punya nanti akan dihisab --tanpa kecuali-- seharusnya kita paham bahwa:

Ini bukan semata-semata tentang dari mana kita memperoleh barang tersebut, apakah bersumber uang halal atau haram? Apakah digunakan untuk kebaikan atau keburukan? Apakah bermanfaat atau justru mubazir?

Bukan semata itu.

Tapi saya percaya ada pertanggungjawaban kita terkait "Hablum minal Alam" yang kelak akan ditanya Tuhan, dari benda-benda yang kita miliki.

Sejauh mana kita merusak alam, dari kebiasaan kita membeli lalu menimbun barang?
Tas, pakaian, mobil, sepeda, lemari, bahkan rumah yang kita miliki, bahan bakunya bersumber dari alam.

Makin besar rumah yang kita bangun, makin banyak pula batu, besi, dan kayu yang kita keruk dari alam. Makin banyak mobil, pakaian, perabotan yang kita beli, makin besar pula andil kita pada menghabiskan sumber daya alam.

Kecuali para produsen gak pakai bahan baku dari alam, modal kentut doang udah bisa jadi mobil. Lalu bahan bakarnya cukup oleskan upil, lalu mobilnya langsung bisa jalan.

Ini bukan ajakan agar manusia gak beli mobil, bukan sama sekali. Ini hanya sebuah kekecewaan pada tabiat orang kaya yang saja mengumpulkan tujuh hingga delapan mobil Di garasi mereka. Atau bagaimana raja Brunai punya hobbi mengoleksi mobil mahal, yang jumlahya sampai ribuan.

Uang-uang mereka! Sewot banget sih?

Hai kalian, kesini saya ajak berpikir sedikit tentang Tsunami, berhubung ini tepat 17 tahun Aceh mengenang musibah maha dahsyat selama ratusan tahun terakhir. Dimana hampir 300.000 nyawa melayang dalam gelombang mematikan itu.

Apa yang menyebabkan jumlah korban sangat banyak?

Saya percaya kalimat "Earthquake doesn't destroy but building did."

Gempa bumi tak menghancurkan (mematikan, red), tapi bangunan yang melakukannya.
Sama dengan kebanyakan bencana alam lainnya, tak terkecuali Tsunami.

Bagaimana saat warga berusaha menyelamatkan diri, namun terhalang reruntuhan bangunan, terjepit mobil, terhimpit lemari, bagaimana semua korban berlari menyelamatkan diri namun terjebak macet karena jalanan yang terasa mengecil karena disesaki manusia.
Andai saja saya bisa berharap saat itu jalanan dibuat lebih lebar. Atau berharap tak banyak bangunan tak berfungsi yang hanya mempersulit korban menyelamatkan diri.

Sungguh, kalaupun lima mobil kita punya dirumah, saat bencana pasti kita memilih satu mobil untuk satu keluarga.

Lalu setelah Tsunami surut, menggununglah benda-benda yang manusia miliki menjadi tak berharga, dengan jenazah yang terhimpit dibawahnya.

Evakuasi menjadi sulit dilakukan.

Pada kasus banjir bandang, juga demikian.

Bagaimana tamaknya manusia menebang pohon, meratakan gunung, demi pembangunan ... hingga saat bencana terjadi? tenggelamlah semua apa yang sudah dibangun itu bahkan hingga rata dengan tanah.

Masihkah mau bilang "uang-uang dia, terserah mau bangun rumah segedek mana" (?)
Saat orang membangun rumah besar, bahan bakunya bukan dari planet Mars, yang gak ada urusannya sama mahluk bumi.

Kalau semua orang berlomba-lomba membuat bangunan besar itu artinya pegunungan akan rata, pasak bumi jadi goyang. Peluang bencana alam tak bisa lagi diminimalisir.
Fenomena ini agaknya sesuai dengan ciri-ciri akhir zaman, bahwa bangunan megah banyak bermunculan.

Dengan cara merusak alam?

Sungguh perintah Islam untuk hidup sederhana bukan semata-semata untuk hablumminallah, tapi ketiga aspek ada disana.

Dengan hidup sederhana, menimbu 
lkan zuhud yang mendekatkan diri dengan Sang Pencipta

Dengan hidup sederhana, kita menjaga perasaan sesama manusia yang barangkali nasib perekonomiannya tak sebaik kita.

Dengan hidup sederhana, kita menjaga sumber daya alam agar terus terjaga.
Tenang, saya tidak mengajak anda untuk jadi orang miskin. Karena untuk hidup sederhana tak perlu jadi miskin, orang kayapun bisa hidup sederhana kalau kekayaannya lebih dimanfaatkan pada kebaikan, bukan dihabiskan untuk menuruti nafsu dunia.
QS Albaqarah. Agar 11-12 :

"Dan apabila dikatakan kepada mereka janganlah berbuat kerusakan dimuka bumi, mereka menjawab 'sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.'
"Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tapi mereka tak menyadarinya."

Wallahualam bissawab.

Akhirul kalam saya tutup ceramah maulid di kampung LamFacebook ini dengan Billahi tuafik walhidayah wassalamualaikum warah matullahi wabarakaaaatuh.
*Turun Mimbar*

Sumber: Facebook Safrina Syams