Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Katanya Aku Ini Istri Primitif

"Kamu jadi perempuan gak mandiri banget sih Lan, bisanya nunggu uang bulanan suami doang. Gak akan sukses kamu, kalau primitif gitu."
Katanya Aku Ini Istri Primitif

Ini bukan kali pertama Lastri mengatakan hal serupa. Perempuan berusia awal tiga puluhan itu acapkali mencemooh, bahwa aku terlalu berpangku tangan secara finansial. Entah kenapa ia terlalu ingin mengatur apa yang harus kulakukan, padahal aku sendiri santai saja menjalani hidup.

Padahal sudah pernah kujelaskan bahwa aku punya penyakit anemia, cepat pusing. Belum lagi kedua anakku masih berusia balita. Untuk apa memaksakan diri cari uang lebih jika Bang Imran --suamiku-- masih sanggup menafkahi keluarga kecil kami dengan layak. Walau tak bergelimang harta, setidaknya dengan punya rumah sendiri dan bisa makan setiap hari, aku sudah sangat syukur. Kendaraan pribadi juga punya, walau cuma mobil subsidi.

"Setidaknya kamu harus punya uang simpang sendiri sepertiku, Lan. Kita kan gak tahu kedepannya, rezeki suami kita lancar terus atau gak. Jangan kayak si Yulia tu. Eh saat suaminya stroke, baru kelimpungan deh dia cari duit sekarang. Coba dari dulu belajar mandiri gak ngandalin uang suami!"
Aku belum berencana menyela. Anakku Sally sudah hampir mengantuk dalam ayunan, fokusku sekarang menidurkannya terlebih dahulu. Lagian Lastri kadang bertamu suka gak kenal waktu. Kalau gak jam istirahat, ya jam makan siang. Padahal aku juga butuh tidur siang walau sebentar.

Aku tak yakin kenapa dia betah disini. Bisa jadi dia bosan di rumahnya, karena belum punya anak. Ia tak punya banyak teman di komplek ini, kata para tetangga Lastri gak asik diajak ngobrol.
 
Jam kerja suami-suami kami yang hingga jam lima sore, membuat Lastri makin bebas bergerilya di rumahku. Ia tak sungkan-sungkan membuka kulkas, mengambil buah, mengambil kue. Padahal katanya uang dia lebih banyak dariku, tapi dia tak pernah membelikan apapun jika sedang main kesini. Kasihan sulungku yang kadang gak kebagian kue brownis kesukaannya karena dihabiskan Lastri.
 
Kalau Lastri datang, biasanya agendanya selalu sama. Kalau gak memamerkan tas, perhiasan, sepatu, yang baru dibelinya dari laba penjualan Skincare. Bahkan ia sudah pernah liburan gratis ke Bali karena dapat bonus sebagai distributor.

Lastri menjual banyak hal sebenarnya, tapi pendapapatan utamanya dari penjualan kosmetik racikan.
Kadang aku berpikir kurang apa suaminya. Setahuku Bang Ilyas itu gajinya lumayan di perusahaan farmasi, orangnya juga baik.
 
"Hari gini harus jadi perempuan mandiri, kalau bisa menghasilkan duit sendiri lebih banyak, ngapain harap recehan suami yang tak seberapa. Mana cukup Bambang!"

Begitulah kurang lebih isi status Lastri sebulan lalu.

Apa suami dia gak terasinggung ya? Padahal menurut pengakuan Lastri, Bang Ilyas memberikan uang untuknya empat juta sebulan. Padahal kan itu lumayan untuk keluarga yang belum dikaruniai anak. Lagipula Lastri gak bisa masak, jadi tidak ada pengeluaran untuk dapur. Mereka lebih sering makan diluar katanya.

Mungkin karena Lastri pengen beli mobil baru,, pengen liburan ke luar negeri, bisa jadi hal itu yang membuatnya sangat rajin mencari uang. Tetapi kenapa harus mengomporiku melakukan hal serupa, kalau aku gak ingin semua itu.

"Lan, suami kita itu belum tentu bisa nafkahi kita selamanya. Ada yang duluan sakit, ada yang duluan dipanggil Tuhan, ada yang malah duluan diambil pelakor. Makanya kita harus punya pegangan, kalau-kalau hal buruk terjadi."

Ternyata perempuan itu belum berbentuk memberi khutbah, padahal ini bukan jumat.

"Aku berbaik sangka aja sama Tuhan Las. Kalaupun hal buruk terjadi, ya Tuhan juga pasti kasih solusi."

"Asal nanti jangan ngutang sama aku aja kamu, Ntar malu sendiri lo, aku udah ingatin dari sekarang. Malah gak mau join bisnis sama aku!"

[ Tiga tahun kemudian ]

Entah bagaimana kabar kabar Lastri sekarang, sejak aku pindah dari sana.

Sudah lama juga rasanya aku tak mendengar celotehannya yang selalu mengkampanyekan agar menjadi perempuan mandiri. Walau sempat kesal akan nesehat Lastri, namun pada akhirnya aku sadar yang dikatakan perempuan itu ada benarnya.

Aku akhirnya merasakan kepahitan yang telah lama coba diperingatkannya dari dulu.
 
Bang Imran yang kusayangi meninggal tiga tahun lalu. Pria yang menafkahi kami pergi untuk selamanya setelah serangan jantung.

Sempat menyesal, kenapa tak mengikuti saran Lastri dulu. Aku mengalami masa sulit setelah tabungan almarhum habis, setahun setelah beliau meninggal.

Tapi,

Syukurlah hanya satu tahun saja masa sulit itu terjadi, karena tak lama kemudian akhirnya aku menikah lagi dengan seorang duda yang baik. Lalu pindah ke kota ini, jauh dari Lastri dan ceramahnya tentang kemandirian wanita.

"Sayang, uang jajannya masih ada?"
 
Lelaki yang baru menikahiku lima bulan lalu itu selalu memastikan banyak hal sebelum berangkat kerja. Aku makin cinta saja.

"Masih Mas, tenang saja." jawabku saat mengantarnya ke teras, lalu menyalaminya. Ia baru dipromosi ke kota ini.

"Aku bersyukur banget punya istri kayak kamu, udah gak banyak menuntut, padai masak, menghargai jerih payah suami, pandai hemat pula."

Suamiku mengecup pucuk kepala ini mesra.

Ialah Bang Ilyas, lelaki yang rela meninggalkan Lastri istrinya, demi menikahiku.
 
Ternyata benar apa kata Lastri.

Sudah seharusnya para perempuan cari uang sendiri. Karena kita tak tahu hal buruk apa yang terjadi kedepannya.

Seperti apa yang menimpa Lastri sekarang.

Syukurlah kalau ia punya uang sendiri, saat suaminya berpindah kelain hati.

( Tamat )

Bagi penikmat cerpen seru, ada banyak cerita lainnya GRATIS di aplikasi KBM saya: Safrina_syams.

Sumber:Facebook Safrina Syams