Saat Perempuan Menjadi Musuh Untuk Kaumnya Sendiri
Beberapa waktu lalu saya sempat melihat sebuah Vidio yang diposting oleh seorang perempuan barat. Sangat memanjakan mata, karena merekam bagaimana ia bangun pagi, membuatkan sarapan, berkebun, membuat kue, hingga ditutup dengan masak malam. Pengambilannya terlihat elegan dan sangat profesional, belum lagi memang rumahnya sangat cantik dan asri, dipadukan dengan musik yang mewakili betapa tenang hidup yang ia miliki.
Adem banget.
Sepertinya mereka belum punya anak. Soalnya gak ada scene atau caption yang mengatakan bahwa "Aku juga ingin menikmati waktu sambil main Facebook, walaupun diruang tengah anak-anak kita sedang baku hantam, dan mulai melemparkan beberapa barang hingga pecah."
Pokoknya menggambarkan bahwa menjadi ibu rumahtangga adalah pekerjaan menyenangkan.
Namun saat jalan-jalan ke kolom kementar, seketika keterlenaan ini harus segera diakhiri. Ada banyak sekali silang pendapat, yang membuat saya harus menyadari sesuatu; bahwa masa telah berjalan cukup jauh, membawa perempuan menjadi sosok yang berbeda. Mandiri, tangguh, bisa melakukan apapun yang diinginkan.
Tanpa harus dibedakan dengan lelaki.
Tanpa harus menggantungkan kebahagiaannya pada lelaki, sekalipun pada lelaki bergelar suami.
"Berarti kembalilah ke era 70an! Istri masa lalu melakukan itu semua." Komen seseorang bernada mengejek.
"Kasihan sekali, lebih suka menggantungkan diri pada suami daripada mengeksplore kemampuan diri."
Hingga ada juga yang lebih ekstrim, seperti "Tipe manusia tak mandiri, lihat saja sampai kamu diceraikan!"
Saya gak tau ada masalah apa bule-bule itu terlihat kesal sekali dengan sosok Homemaker seperti postingan tersebut. Karena ada juga kok yang membela pilihan hidup sang wanita. Hanya saja, saya mulai memahami dua hal.
***
Bahwa, saat feminisme digaungkan, itu berarti para perempuan bebas memasuki ranah apapun. Tidak ada lagi istilah perempuan tak boleh melakukan hal seperti lelaki lakukan. Demi aktualisasi diri, perempuan bebas menentukan pilihan untuk menjadi apapun.
Lalu mereka lupa, bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah juga sebuah pilihan. Bahkan itu adalah 'profesi' paling tua dan orisinil dalam sejarah peradaban manusia, jauh sebelum aneka profesi yang diinginkan perempuan masa kini.
Walau dulu saya belajar pelajaran Sejarah dalam keadaan mengantuk, tapi saya masih ingat waktu dijelaskan bahwasanya perempuan tidak pernah dikisahkan "berburu" sejak kehidupan di bumi bermula. Lelaki yang melakukannya.
Mohon jangan salah menarik kesimpulan, saya bukan ingin menggiring opini bahwa perempuan tak boleh bekerja. Saya hanya tidak ingin saat perempuan ada yang memilih jadi ibu rumah tangga, itu mulai dipandang hal buruk. Seperti komentar-komentar seperti postingan bule itu.
Jika tujuan pergerakan feminisme adalah memberi ruang selebar mungkin pada perempuan untuk memilih ingin menjadi apa, dimanapun. Lalu mengapa pilihan untuk menjadi ibu rumah tangga menjadi tidak menarik untuk diperjuangkan?
Ya, walaupun kesetaraan gender itu baik, pada akhirnya memang ada hal-hal baik lainnya justru tergerus diakibatkan kesetaraan gender itu sendiri. Seperti halnya saat semua profesi yang identik dengan pria bisa dikerjakan oleh wanita, maka priapun mulai mengerjakan profesi yang identik dikerjakan wanita. Penata Rias Wajah, contohnya. Ini tak lagi sesuai fitrah menurut saya.
Hal kedua yang saya pelajari adalah ...
Pada kebanyakan hal, musuh kaum perempuan ternyata bukanlah lelaki. Melainkan perempuan itu sendiri.
Yang paling lazim adalah pada kisah orang ke tiga dalam rusaknya pernikahan seseorang. Rata-rata pemicunya adalah pelakor, dimana begitu banyak para perempuan yang tega menghancurkan rumah tangga perempuan lainnya, demi memperebutkan lelaki.
Di kisah lainnya saya pernah dapat balasan sejenis quote atau apalah gitu dari keluhan para perempuan.
"Enaknya menjadi laki-laki adalah bebas memakai baju yang itu-itu saja, gak ada yang ngata-ngatain. Sementara perempuan tidak bisa merasakan hal ini."
Terus dijawab dibawahnya oleh statement lelaki "Kami tak pernah mengata-ngatai perempuan. Justru perempuan sendiri yang melakukannya untuk kaum mereka sendiri."
Makjleb gak itu?
Atau di kasus terakhir.
Saya ingat pada sebuah akun selebgram transgender tanah air, ada seorang perempuan (Netizen X) yang kontra dengan pilihan transpuan itu di kolom komentar. Kemudian seorang perempuan lainnya (Netizen Y) malah belain si transgender sambil meledek alat vital yang si netizen Y katanya jauh lebih bagus daripada punya si transpuan.
"Masih bagusan punya dia, gak kayak punya lo, kayak ban pecah."
Duh, itu perempuan, malah rendahin kaumnya sendiri demi belain lelaki. Sadarkah dia, pada kasus transgender, yang paling dirugikan adalah kaum kita sendiri?
Sudahlah lelaki populasinya makin berkurang, harus dikurangi lagi karena sebagian mereka memilih jadi transgender. Dan sisi lain, semua ranah kita sudah direbut mereka. Olahraga cabang perempuan mulai diikuti oleh transgender, kontes kecantikan juga. Bahkan kini, untuk menjadi seorang istri, tak lagi harus perempuan asli.
Coba lihat saja, makin banyak jumlah lelaki menikahi lelaki.
Bukankah perempuan paling dirugikan akan hal ini?
Dah lah, gak sanggup kita pikir kaum perempuan ini. Masak iya, ada gitu, perempuan tak mendukung kaumnya sendiri.
Memang benar kata orang, gak usah cari perkara sama perempuan. Mending cari perkara sama lelaki.
Seperti saya yang akhirnya memilih sering cari perkara sama suami (saja) daripada ke sesama perempuan yang bisa ribet urusannya.
Soalnya kalau cari perkara sama suami, nanti saya bisa andalkan jurus ngambek, sebagai senjata pamungkas. Lalu ujung-ujungnya saat masa rekonsiliasi, saya diajak makan keluar.
Caption yang berjalan di setiap scene pun begitu menarik (setidaknya menurut saya). Kurang lebih di kalimat pembuka dia mengatakan, bahwa ia tak ingin bekerja kantoran, tak pula ingin jadi boss.
Perempuan ini ingin menikmati hari dengan hal menyenangkan (baginya), seperti bangun pagi dan sarapan santai tanpa harus terburu-buru ngantor. Menghabiskan waktu lebih banyak di rumah dengan berkebun, mencoba resep-resep kue baru, merajut, membaca buku, sampai mempersiapkan makan malam. Hingga nanti saat suaminya pulang, dia bisa menyambutnya di rumah, dengan sebuah pelukan hangat dan berkata. "Hi darling, how was your day? Are you ready for dinner?"
Perempuan ini ingin menikmati hari dengan hal menyenangkan (baginya), seperti bangun pagi dan sarapan santai tanpa harus terburu-buru ngantor. Menghabiskan waktu lebih banyak di rumah dengan berkebun, mencoba resep-resep kue baru, merajut, membaca buku, sampai mempersiapkan makan malam. Hingga nanti saat suaminya pulang, dia bisa menyambutnya di rumah, dengan sebuah pelukan hangat dan berkata. "Hi darling, how was your day? Are you ready for dinner?"
Adem banget.
Sepertinya mereka belum punya anak. Soalnya gak ada scene atau caption yang mengatakan bahwa "Aku juga ingin menikmati waktu sambil main Facebook, walaupun diruang tengah anak-anak kita sedang baku hantam, dan mulai melemparkan beberapa barang hingga pecah."
Pokoknya menggambarkan bahwa menjadi ibu rumahtangga adalah pekerjaan menyenangkan.
Namun saat jalan-jalan ke kolom kementar, seketika keterlenaan ini harus segera diakhiri. Ada banyak sekali silang pendapat, yang membuat saya harus menyadari sesuatu; bahwa masa telah berjalan cukup jauh, membawa perempuan menjadi sosok yang berbeda. Mandiri, tangguh, bisa melakukan apapun yang diinginkan.
Tanpa harus dibedakan dengan lelaki.
Tanpa harus menggantungkan kebahagiaannya pada lelaki, sekalipun pada lelaki bergelar suami.
"Berarti kembalilah ke era 70an! Istri masa lalu melakukan itu semua." Komen seseorang bernada mengejek.
"Kasihan sekali, lebih suka menggantungkan diri pada suami daripada mengeksplore kemampuan diri."
Hingga ada juga yang lebih ekstrim, seperti "Tipe manusia tak mandiri, lihat saja sampai kamu diceraikan!"
Saya gak tau ada masalah apa bule-bule itu terlihat kesal sekali dengan sosok Homemaker seperti postingan tersebut. Karena ada juga kok yang membela pilihan hidup sang wanita. Hanya saja, saya mulai memahami dua hal.
***
Bahwa, saat feminisme digaungkan, itu berarti para perempuan bebas memasuki ranah apapun. Tidak ada lagi istilah perempuan tak boleh melakukan hal seperti lelaki lakukan. Demi aktualisasi diri, perempuan bebas menentukan pilihan untuk menjadi apapun.
Lalu mereka lupa, bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah juga sebuah pilihan. Bahkan itu adalah 'profesi' paling tua dan orisinil dalam sejarah peradaban manusia, jauh sebelum aneka profesi yang diinginkan perempuan masa kini.
Walau dulu saya belajar pelajaran Sejarah dalam keadaan mengantuk, tapi saya masih ingat waktu dijelaskan bahwasanya perempuan tidak pernah dikisahkan "berburu" sejak kehidupan di bumi bermula. Lelaki yang melakukannya.
Mohon jangan salah menarik kesimpulan, saya bukan ingin menggiring opini bahwa perempuan tak boleh bekerja. Saya hanya tidak ingin saat perempuan ada yang memilih jadi ibu rumah tangga, itu mulai dipandang hal buruk. Seperti komentar-komentar seperti postingan bule itu.
Jika tujuan pergerakan feminisme adalah memberi ruang selebar mungkin pada perempuan untuk memilih ingin menjadi apa, dimanapun. Lalu mengapa pilihan untuk menjadi ibu rumah tangga menjadi tidak menarik untuk diperjuangkan?
Ya, walaupun kesetaraan gender itu baik, pada akhirnya memang ada hal-hal baik lainnya justru tergerus diakibatkan kesetaraan gender itu sendiri. Seperti halnya saat semua profesi yang identik dengan pria bisa dikerjakan oleh wanita, maka priapun mulai mengerjakan profesi yang identik dikerjakan wanita. Penata Rias Wajah, contohnya. Ini tak lagi sesuai fitrah menurut saya.
Hal kedua yang saya pelajari adalah ...
Pada kebanyakan hal, musuh kaum perempuan ternyata bukanlah lelaki. Melainkan perempuan itu sendiri.
Yang paling lazim adalah pada kisah orang ke tiga dalam rusaknya pernikahan seseorang. Rata-rata pemicunya adalah pelakor, dimana begitu banyak para perempuan yang tega menghancurkan rumah tangga perempuan lainnya, demi memperebutkan lelaki.
Di kisah lainnya saya pernah dapat balasan sejenis quote atau apalah gitu dari keluhan para perempuan.
"Enaknya menjadi laki-laki adalah bebas memakai baju yang itu-itu saja, gak ada yang ngata-ngatain. Sementara perempuan tidak bisa merasakan hal ini."
Terus dijawab dibawahnya oleh statement lelaki "Kami tak pernah mengata-ngatai perempuan. Justru perempuan sendiri yang melakukannya untuk kaum mereka sendiri."
Makjleb gak itu?
Atau di kasus terakhir.
Saya ingat pada sebuah akun selebgram transgender tanah air, ada seorang perempuan (Netizen X) yang kontra dengan pilihan transpuan itu di kolom komentar. Kemudian seorang perempuan lainnya (Netizen Y) malah belain si transgender sambil meledek alat vital yang si netizen Y katanya jauh lebih bagus daripada punya si transpuan.
"Masih bagusan punya dia, gak kayak punya lo, kayak ban pecah."
Duh, itu perempuan, malah rendahin kaumnya sendiri demi belain lelaki. Sadarkah dia, pada kasus transgender, yang paling dirugikan adalah kaum kita sendiri?
Sudahlah lelaki populasinya makin berkurang, harus dikurangi lagi karena sebagian mereka memilih jadi transgender. Dan sisi lain, semua ranah kita sudah direbut mereka. Olahraga cabang perempuan mulai diikuti oleh transgender, kontes kecantikan juga. Bahkan kini, untuk menjadi seorang istri, tak lagi harus perempuan asli.
Coba lihat saja, makin banyak jumlah lelaki menikahi lelaki.
Bukankah perempuan paling dirugikan akan hal ini?
Dah lah, gak sanggup kita pikir kaum perempuan ini. Masak iya, ada gitu, perempuan tak mendukung kaumnya sendiri.
Memang benar kata orang, gak usah cari perkara sama perempuan. Mending cari perkara sama lelaki.
Seperti saya yang akhirnya memilih sering cari perkara sama suami (saja) daripada ke sesama perempuan yang bisa ribet urusannya.
Soalnya kalau cari perkara sama suami, nanti saya bisa andalkan jurus ngambek, sebagai senjata pamungkas. Lalu ujung-ujungnya saat masa rekonsiliasi, saya diajak makan keluar.
Sumber: Facebook Safrina Syams