Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Saya Dan Uang Segoni

Alkisah, dahulu kala kami dibesarkan dalam keluarga sederhana. Tujuh bersaudara, yang untuk sarapan saja, satu telur didadar harus bagi empat.
Saya Dan Uang Segoni

Zaman sekarang, itu barangkali bisa dikategorikan keluarga kurang sejahtera.

Tapi ajaibnya, saya tak merasakan jejak-jejak kemiskinan dulunya.

Bahkan masa kecil saya sangat bahagia. Lebaran kami tetap bisa beli baju baru, selain itu keluarga juga tak pernah dililit hutang. Saya rasa cukup untuk disebut hidup bahagia secara ekonomi.

Bukankah didikan masa kecil sangat mempengaruhi bagaimana seseorang memandang dunia?

Mamak kami dulu dikenal pandai buat kue.

Bingkang, timphan, dan kue lapis, adalah hal yang sering orang tanyakan kepada Mamak, apakah menerima pesanan.

Saya bahkan sudah hafal bagaimana dialog penolakan Mamak, setiap calon konsumen datang. Beliau hanya menerima jika yang mesan keluarga dekat, atau orang yang tak enak bila ditolak.

Prinsip hidup beliau. "Mending uang sedikit, tapi gak capek." Makanya sering tak tertarik saat ada peluang mendapatkan banyak uang.

Ajaibnya, sikap ini nurun ke semua anak.

Ada si pegawai yang menolak naik jabatan jadi bendahara, si penjahit yang sering menolak orderan, si pemilik usaha warung kopi yang merubah nama jadi kantin saja.

"Lebih baik cukup pagi aja cari rezeki. Daripada capek sampek malam, uang banyak, terus sakit?"

Demikianlah, akhirnya kantin di depan Puskesmas Ingin Jaya itu berjalan hingga sekarang, tutup saat siang. Diantara kami semua beliaulah paling mobile dalam silaturrahmi, waktu luangnya banyak tapi rezekinya juga lancar.

Tiga anak perempuan lainnya juga tak jauh berbeda.

"Sombong kali keluarga ini, gak mau duit lebih." kelakar seseorang, bercanda.
Iya juga ya ... udah gak kaya, sombong pula. Entah keluarga macam apa pula ini.
Entah kenapa, uang banyak tidak terlalu membuat kami bernafsu.

'Tidak terlalu' berbeda dengan 'tidak'. Kami masih normal kok, masih mau uang. Apalagi diaksih percuma. Ada yang mau kasih emangnya?
Salah satu abang saya yang sudah 'hijrah' sejak 2003, bahkan punya standar sendiri dalam menilai "tidak miskin".

Menurut agama ( yang diamini kuat oleh manhajnya kini), bahwa seseorang dianggap mampu bila punya simpanan uang -- untuk makan -- setidaknya sampai tiga hari kedepan.
Jadi bila ada yang merasa aneh, kenapa saya dari dulu ngajarnya cuma sehari ... barangkali bisa ditarik benang merah, bahwa sayapun mewarisi tabiat seperti mereka.

Saya gak siap capek di dua tempat sekaligus (rumah-sekolah). Apalagi para guru zaman sekarang tentu tau bagaimana tantangan mengajar generasi Z, mereka tak lagi mudah diatur seperti murid-murid zaman sebelumnya.

Setelah punya rumah sendiri tahun 2015, sebenarnya keinginan saya akan "uang lebih" hanya untuk satu hal lagi. Haji.

Lalu setelah Saliha meninggal, atas izin Allah mertua menghadiahi kami setoran pertama haji.

Jadi apalagi yang harus saya kejar?

Punya rumah dan kendaraan saja sudah lebih dari cukup bagi istri tenaga kontrak seperti saya. Baiknya Allah ... selalu memudahkan urusan kami. Meski gaji pas di UMR tapi Alhamdulillah berkah. Bahkan masih bisa ditabung beberapa lembar.

Lalu,

Saat kemarin mendapatkan kalimat marketing menyudutkan semacam [ Berlagak _ _ _ _ dikasih uang satu karung, baru deh, bilang keren kali bisnis ini! ]

Saya jadi pengen sedikit bercerita.

Dari belasan tahun lalu teman-teman pernah menawarkan produk bisnisnya ke saya, banyak jenisnya. Saya tolak, karena tak punya skill dalam marketing, itu saja alasan pada mulanya.
Sampai tahun inipun masih ada, seperti biasa saya diiming-imingi dengan uang dan award. Akhirnya satu hari saya merasa perlu menjawab sesuatu dari hati.

"Saat ini yang saya butuhkan sekali bukan uang, kalau ada produk yang awardnya menawarkan ketenangan hidup ... saya join sekarang juga. Biar semua kekhawatiran dalam hidup saya hilang."

Akhirnya percakapan tentang bisnis berakhir saat saya bilang bahwa ... setelah anak meninggal saya tak mengharapkan banyak hal lagi dalam hidup. Hanya minta dipanjangkan umur dalam kesehatan dan keimanan, untuk keluarga kami.

Berpergian jauh saja saya sudah cemas. Dengar jatuh pesawat aja, gak berani lagi naik pesawat. Jadi jangan iming-imingi saya tiket liburan atau uang. It doesnt work Beib!
Jadi jika ada yang menawarkan uang satu goni (seperti status diatas), saya bisa memastikan tidak akan menjawab seperti yang dia tebak; bahwa uang segoni itu keren. Karena standar kesenangan orang itu beda.

Bagi saya, orang keren itu justru mereka yang bisa bahagia dan ikhlas dalam keadaan bagaimanapun ... tanpa syarat harus kaya raya.
Semoga saya bisa demikian.

Tapi yang perlu digaris bawahi, setiap orang punya cerita sendiri-sendiri, jangan disamakan dengan saya yang cari aman ini.

Ada yang pengen banyak uang biar bisa umrohin orang tua, ada yang pengen banyak uang biar bisa buat pesantren, ada yang pengen banyak uang untuk berbagi, bahkan membantu keuangan suami.

Sungguh mulia niat mereka, bila dibandingkan saya.

Lagipula harta tak selamanya melenakan dunia. Saya salut dengan yang punya niat baik seperti ini hingga mau berlelah-lelah cari rezeki.

Suatu hari suami pernah bilang "Abang padahal gak malu jualan nasi uduk malam, kalau adek mau masak."

Saya langsung menolak karena mengingat keadaan sedang tidak begitu mendesak, semoga selalu demikian.

"Udah seharian di kantor, pulang mau jualan lagi? Jadi kapan ada waktu sayang-sayangan sama istri?"

Eh, tapi tunggu.

Setelah jawab itu saya baru sadar.

Kayaknya selama ini kalau ada waktu senggang bersama suami, malah saya pakai untuk merepet.

Apa jangan-jangan ide jualan ini hanya modus untuk melarikan diri?
Timit.

Sumber: Facebook Safrina Syams