Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Theory vs Praktek

Sebenarnya kalau ditanyai siapa lebih penting antara teori dan praktek, bingung juga harus jawab yang mana. Keduanya sama penting.
Theory vs Praktek

Tapi setidaknya pertanyaan itu tak sepelik pertanyaan "Lebih duluan mana ayam atau telur?"

Karena faktanya teori sendiri pada dasarnya adalah "proven best practice" atau praktek yang sudah pernah teruji sebelumnya.

Kita gak akan tahu teori memilih Alpukat yang yang bagus, kalau sebelumnya tidak ada orang yang coba membaca kebiasaannya saat membelah alpukat. Di bentuk buah yang bagaimana ia sering anti gagal?

Maaf, contoh teorinya gak keren banget: buah Alpokat.

Ya mau gimana, ibu rumah tangga seperti saya gak mampu menjelaskan seberat teori Big Bang. Teori Big Kak saja, yang segender, saya gak tau.

Mungkin saya diketawai sebagian orang sebagai manusia old style, saya bukan pemuja teknologi, bahkan kadang tak suka pembaharuan.

Dalam bayangan saya, zaman boleh sudah sangat berubah, tapi bagaimana memaknai hidup tentu tak perlu banyak yang berubah.

Saya sangat setuju bila salah satu alasan mengapa kita harus menghormati orang yang lebih tua adalah, bahwa karena pengalaman hidup mereka jelas lebih panjang dari hidup kita.
Walau tidak semua orang yang lebih tua dapat dijadikan panutan. Tapi setidaknya yang mereka lalui sudah banyak trial-errornya. Alias "praktek" hidup mereka di dunia sudah lebih lama.

Ya, tinggal mengambil yang bagusnya aja, tinggalkan yang buruk. Semudah itu bukan?
Ada pengalaman saat saya melahirkan, yang layak jadi contoh untuk kasus saya kali ini; tentang teori versus praktek.

Alksisah di kehamilan yang baru berusia 7 bulan saya merasakan sesuatu merembes dari pintu rahim. Khawatir itu ketuban, saya dan suami bergegas ke rumah sakit untuk memastikan.

"Mee laju alat bayi!" perintah mamak, ingin kami pergi dengan perlengkapan siap tempur.
Saat itu saya hanya memahaminya sebatas mendengarkan perintah orang tua, tanpa paham bahwa "jam terbang" mamak saya sudah teruji.

Tiba disana terbukti itu ketuban, dan saya harus dirawat kalau bayinya harus dilahirkan sewaktu-waktu. Mereka tetap berusaha mempertahankan, sambil menyuntikkan pematangan paru.

Mamak akhirnya menyusul ke sana.

Malam kedua menginap di RS, saya merasakan sakit perut dibagian bawah, seperti desakan ingin buang air besar. Akhirnya ke WC.

Melihat saya masih kesakitan usai keluar dari sana, akhirnya suami memanggil tim medis.
Setelah diperiksa oleh seorang bidan muda, ia berkata bahwa saya tak apa-apa.
"Ini cuma masuk angin, sebentar saya saya ambilkan obat." ucapnya berlalu begitu saja.
Mendengar penjelasan perempuan muda itu, mamak saya seperti tak setuju, alias berbeda pendapat.

"Mak, yang bidan dia. Bukan kita. Dia lebih tau."

Begitu kira-kira yang ingin saya katakan untuk menenangkan orang tua saya, padahal saat itu rasanya saya sudah sakit sekali. Bahkan untuk sekedar duduk minum obat 'masuk angin' pun saya sudah tak bisa.

Melihat keadaan saya sudah amat mengkhawatirkan, mamak mulai menaikkan volume suaranya.

"Peu dipeugah tamong angen! Nyoe karap melahirkan! Ka heuy doto keudeh Dek! Bek perawat!" perintah mamak kepada suami saya..

Segera suami turun ke lantai satu, mencari dokter jaga seperti perintah Mamak.

Dan benar saja, saat dokter datang memeriksa pintu lahir beliau mulai panik.

"Ini sudah pembuka sempurna! Kenapa bisa kecolongan begini kalian!" ucapnya memarahi para perawat dan bidan.

Ya Tuhan ....

Sampai di lantai dasar semua panik tak terkecuali dokter, kerena saya sudah terlanjur melemah.

Tapi syukurlah moment genting itu berakhir bahagia, anak kami terlahir selamat walau akhirnya saya harus merasakan jahitan yang lumayan banyak dan luar biasa perih (tanpa bius). Padahal bayi yang dikeluarkan cuma 1,7 kg.

Dari pengalaman itu saya paham, jangan remehkan orang yang tidak duduk dibangku kuliah, adakalanya pengalaman hidup mereka lebih berharga dari segenap teori.

Mamak memang bukan bidan, tak bisa membantu proses lahiran. Tapi beliau sudah melahirkan 9 kali, sudah mendampingi kelahiran 15 cucu saat itu. Hidup telah menyuguhkannya beberapa kali praktek terkait hal ini.

Tapi ini bukan berarti saya ingin mengesampingkan teori, karena praktek memang akan lebih mudah dengan menguasai teori. Tapi yang jangan dilupakan bahwasanya: teori berasal dari praktek yang dilakukan berulang kali.

***
Di kasus lainnya tentang teori Vs praktek.

Ada pada cinta lelaki di dalam foto ini.

Walau lelaki ini gak punya teori, dia belajar dari pengalaman selama 10 tahun. Bahwa praktek mencuci piring, praktek menjemur kain, praktek menghabiskan uang demi menyenangkan istri, lebih disukai istrinya ... dibandingkan segenap teori apapun.

Sumber: Facebook Safrina Syams