Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Mendambakan Yang Tidak Ada

Entah mengapa sebuah cerpen hampir semuanya dimulai dengan kata sinar matahari dalam menggambarkan suasananya. Begitu pula dengan ceritaku kali ini, sangat sulit untuk tidak memulai dengan kata sinar matahari pagi menerobos celah-celah dedaunan pohon Akasia di pinggiran danau tempat aku berdiam diri. Pemandangan air danau yang menghijau dipagari gunung-gunung yang membiru sungguh memanjakan mata. 
Mendambakan Yang Tidak Ada

Aku menghirup lekat-lekat wangi bunga Pinang yang mulai mekar, lengkingan suara jangkrik bersahutan dengan cuitan burung semakin menyatu dengan alam yang syahdu. Damai sekali. Biasanya danau ini akan ramai di waktu sore, ketika anak-anak muda dan sejumlah keluarga kecil yang bahagia berjalan-jalan menghabiskan waktunya. Di sore hari juga, beberapa pedagang makanan menjajakan dagangannya.

Seharusnya pagi ini, aku menghabiskan waktu bersama Maya di sini. Semalam kami sudah berjanji, tapi tiba-tiba Maya membatalkan janji secara sepihak. Aku cukup kecewa karena begitu banyak cerita yang ingin kubagi bersamanya. Mungkin, Maya punya kepentingan yang lebih mendesak bersama keluarganya. 

Ia sahabatku yang selalu menomorsatukan keluarga di atas segalanya. Kadang, aku iri dengan keluarga Maya. Ia termasuk temanku yang sangat beruntung, memiliki suami yang salih, sayang keluarga, anak-anak yang lucu, mertua yang baik serta ipar yang menyenangkan. Kebahagiaan mereka bukan gimmick, kebahagiaan mereka nyata dan jarang sekali di publikasikan di sosial media.

Aku merenungi nasibku. Sebelas tahun sudah berumah tangga, seakan tidak ada lagi cinta yang bersemi di sana, di rumah kami. Aku bertahan semata-mata demi anak-anak. Hari-hari yang kulalui terasa hambar. Masing-masing anggota keluargaku sibuk dengan dunia sendiri. Suamiku baik, ia bertanggung jawab. Memenuhi segala kebutuhan materiku, tapi tidak untuk kebutuhan psikisku. Kami sangat jarang berbicara dari hati ke hati. 

Sepanjang hari dan malam, kadang tidak lebih dari tiga kata aku berbicara dengannya. Rasanya kami hanya terikat oleh status saja, namun tidak dengan hati kami. Hingga dalam beberapa bulan ini, hadir seseorang yang sangat perhatian dan peduli kepadaku. Inilah yang sebenarnya ingin kuceritakan pada Maya.

Lain lagi dengan temanku Widia, sudah lama aku tidak berjumpa dengannya semenjak kami lulus tiga belas tahun lalu. Ia sudah memiliki tiga orang anak. Kemarin ia menelponku dan bercerita panjang lebar sambil menangis. Ia sudah tidak tahan dengan prilaku KDRT yang dilakukan suaminya. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, mengingat biaya hidupnya dan ketiga anak-anaknya yang masih kecil sepenuhnya bergantung pada suami. Aku mengenal suami Widia, kami pernah berada dalam satu organisasi kampus yang sama.

"Aku tidak menyangka dia tega begitu sama Aku, Rei. Aku iri sama Kau, Rei. Kau pasti bahagia karena tidak pernah dipukuli."

Widia sungguh tidak tahu bagaimana hambarnya kehidupanku.

Diantara teman dekatku, Safira-lah yang belum menikah. Usia Safira sama denganku, tiga puluh empat tahun. Kabar terakhir yang aku tahu dari Maya, Safira masih aktif mengajar anak-anak mengaji di kampungnya. Menurut Maya, Safira juga sering menangis ketika sesekali meneleponnya. Safira merasa membebani keluarganya dengan pertanyaan-pertanyaan sanak saudara dan tetangga perihal jodohnya. Safira ingin cepat-cepat menikah dan memiliki keluarga bahagia seperti kami. Seperti keluarga kami dalam bayangannya. Mungkin maksudnya, seperti keluarga Maya.

Aku menghela napas.

Mentari semakin terik, aku beranjak pulang, sekalian menjemput anakku di TK. Tiba di sebuah warung, aku memberhentikan sepeda motor dan membeli air mineral. Selesai menerima uang kembalian, aku kembali ke sepeda motorku, mataku tertuju ke sebuah rumah makan di seberang jalan, tampak seorang perempuan yang sangat kukenali, baru turun dari sebuah mobil keluarga bersama seorang laki-laki, tapi bukan suaminya. Mereka sangat akrab. Buru-buru aku menelfonnya untuk memastikan, bisa kullihat saat ia mengangkat telepon dariku. Benar, ia adalah Maya.

Hari berikutnya, Aku dan Maya kembali berjanji bertemu di pinggiran danau itu. Maya bercerita bahwa di hatinya telah ada seseorang yang lain. Laki-laki yang kulihat bersamanya kemarin. Ia heran, bagaimana bisa ia jatuh cinta pada teman kerjanya. Secara, suaminya jelas-jelas lebih unggul dari segi apapun dibandingkan teman kerjanya itu. Tapi tetap saja, Maya beralasan bahwa cinta tak pernah salah, tidak butuh alasan, ia buta. Walaupun sebenarnya ia juga merasa bersalah.

Ah, manusia selalu mendambakan yang tidak dimilikinya. Tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah Tuhan berikan. Lalu menyalahkan cinta dengan apa yang terjadi.

Padahal, manusia hidup diantara "dipilih" dan "memilih". Kita tidak bisa memilih dari orang tua mana ingin dilahirkan, tapi kita bisa memilih untuk berbakti kepada mereka atau tidak.

Kita tidak bisa memilih di belahan bumi mana Allah tempatkan, tapi kita bisa memilih menyenanginya atau tidak.

Lalu, kenapa kita menyukai yang tidak kita miliki walaupun yang sudah kita miliki jelas lebih baik?

Jawabannya sederhana, karena kita belum memilikinya. Seperti Safira yang mendambakan seorang suami. Seperti Widia yang mendambakan suami seperti suamiku, sepertiku yang mendambakan suami seperti suami Maya, begitu pula Maya mendambakan orang lain meskipun suaminya diakui sangat sempurna. Lalu, pilihan selanjutnya ada di tangan kita masing-masing.

Sumber: Facebook Ismi Marnizar