Bisa Dikatakan Saya Mengalami Hal Yang Tak Mudah Hari Ini
Semalam saya bergadang. Selain karena anak ke 4 kami (3 bulan) tidak tidur lelap, si sulung juga terus menangis, sesekali berteriak menahan sakit. Ada bisul yang mengakibatkan nyeri luar biasa di pangkal kakinya.
Mana anak kedua sudah diingatkan oleh bunda gurunya, harus bawa bekal nasi pagi ini.
Jelang siang, dua anak lagi yang bergadang dari semalam, masih saja tidak tidur. Yang kecil asik minta gendong. Yang besar terus menangis, tapi tak mau minum obat.
Pokoknya drama banget. Saya baru sempat sarapan jam sembilan pagi dan minumnya hampir jam sepuluh pagi. Belum lagi penampilan saya yang kian memprihatinkan. Udah mirip gelandangan yang sebulan gak mandi. Kalian tentu tau bagaimana baunya asi kalau sudah lama mengenai pakaian.
Setelah berusaha kuat selama belasan jam lamanya, akhirnya jelang Zuhur saya menyerah.
Saya menangis di kamar mandi, saat air yang saya panaskan dari gas elpiji terakhir, air yang ingin dipakai untuk membersihkan badan; malah tak sengaja tersenggol, lalu tumpah semua ke dalam bak.
"Ya Allah, kenapa berat sekali rasanya hari ini."
***
Lalu siangnya ....
Setelah menyantap Indomie untuk sedikit merelaksasi diri, lalu merebahkan diri sejenak sambil buka sosmed, saya malah dapat screenshot dari seorang influencer ini. Seorang perempuan yang mempopulerkan Child free setahun belakangan. Bahwa hidup tanpa anak lebih menarik, karena membesarkan anak itu tak mudah.
Melihat balasan komentar Gita tentang resep awet muda adalah dengan tak punya anak; bebas bisa tidur 8 jam sehari, gak stress dengan teriakan anak-anak, saya mencoba menghubungkannya dengan rentetan drama seharian ini.
Jangan-jangan benar juga yang dia katakan?
***
Sejujurnya sejak Child free ini digaungkan, saya sudah menahan jempol untuk tidak ikut berkomentar. Karena bagi saya, semua orang berhak mendefinisikan bahagianya sendiri.
Ada yang meletakkan bahagianya pada harta. Ada yang meletakkan bahagianya pada keluarga.
Semua gak mesti sama.
Namun melihat bagaimana Gita yang makin kesini, makin kesana, saya jadi ingin juga ambil bagian.
Di beberapa hal, saya sebenarnya setuju dengan pendapat Gita. Kalau kita gak bisa mendidik anak dengan baik, lebih baik jangan punya anak. Jangan sampai sifat temperamen kita sebagai orang tua, malah menyebabkan anak-anak kita kelak tumbuh jadi orang jahat.
Lihat sendiri bagaimana penjara sudah penuh, tindak kriminal meningkat. Yang ada kita hanya membebani bumi dengan kelahiran manusia-manusia yang kelak tak punya nurani.
Lagian, ada sisi bagusnya juga childfree. Bisa mengurangi sedikit kepadatan penduduk bumi yang kian meresahkan.
Hanya saja, ini akan jadi masalah kalau yang menganut paham child free itu sebenarnya orang baik, namun terlanjur dibuat takut duluan saat membayangkan betapa merepotkan kalau punya anak. Sedangkan orang jahat malah beranak pinak dengan sentosa.
Kenapa gak emaknya para begal sadis, emaknya para pedofelia, emaknya koruptor, yang child free aja dulunya.
***
Sebenarnya menjadi orang tua bukan hanya semata tentang kerepotan di dalam rumah. Kompleks sekali rasanya jadi ibu.
Seperti rujak.
Ada kejutan rasa yang gak akan selalu sama.
Lagian berapa lama sih momen riweh sebagai ibu akan bertahan. Saat anak-anak sudah SMP saja, bisa dipastikan keadaan sudah berubah.
Yang ada kita sebagai ibu malah rindu bagaimana begitu "sweet" nya mereka dulu. Yang selalu menunggu kita pulang, selalu menjadikan kita tempat bercerita apapun dengan semangat.
Saya percaya, ketika Islam memuliakan seorang ibu (dengan meletakkan surga dibawah telapak kakinya) sudah pasti akan sangat banyak kebaikan bila kita mempunyai anak.
Begitu besar pahala perempuan yang membesarkan anak-anak mereka dengan tulus.
Segala amalan baik ke sesama manusia, seperti memberikan makan, membantu yang susah, menyayangi sesama, membagi ilmu kehidupan, sudah tercover dengan membesarkan anak saja sebenarnya. Makanya tak salah bila dikatakan, kalau perempuan ingin mendapatkan surga, di rumah saja sebenarnya juga sudah cukup. Membesarkan anak menjadi manusia baik.
***
Gita memang mengakui punya inner child, atau luka pengasuhan. Perlakuan ibunya di masa lalu konon membuatnya tak ingin punya anak.
Lalu, apakah luka pengasuhan ini sebenarnya bisa bisa dijadikan alasan?
Saya kenal seseorang yang punya inner child, sebut saja Aminah. Saya tahu kalau perempuan ini telah sering dipukuli oleh ibunya saat kecil, tanpa tahu alasannya.
Perlakuan ibunya dulu tak pernah diekspose ke publik, padahal dia rajin menulis dan bercerita. Followers juga banyak.
Saya juga pernah menonton pengakuan Zaskia Adya Mecca yang ternyata punya inner child sampe pernah ditarik rambut sama ibunya. Syukurlah ternyata dia tidak memilih child free di kemudian hari. Selain anaknya banyak, ilmu Parentingnya juga saya acungi jempol.
Bedanya, dia memilih menceritakan keburukan ibunya ke khalayak ramai. Mungkin atas dasar pembelajaran. Entahlah.
Lalu ada Gita, yang mengaku punya Inner Child. Ia memilih tak punya anak setelah mengaku terluka dengan pengasuhan ibunya.
Dia memilih menyalahkan inner child, dan menyalahkan ibunya pada khalayak ramai.
Jadi, semua tergantung kita sendiri, mau menyembuhkan luka seperti dua orang diatas, atau justru memelihara trauma seperti Gita dengan terus menyalahkan ibu.
***
Yang mesti kita ingat, dalam penggalan surat Al insyirah. Bahwa inna maal usri yusra. Bahkan Allah mengulangnya dua kali di surat ini. Seperti ingin menekankan apa yang yang sering kita lupakan saat bersedih.
"Bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan."
Sama halnya saat saya harus menjalani hari yang sedikit menyedihkan hari ini. Seharusnya saya ingat akan ada kebahagiaan di kemudian hari. Bahkan saya hanya perlu mengingat kalau sebelum hari ini, ada begitu banyak sekali hari baik yang telah saya nikmati.
Bukankah hidup hanya pergiliran waktu antara sedih dan senang.
Kalau hari ini saya repot karena anak. Saya perlu mengingat kalau kapan hari, bagaimana saya begitu bahagia. Hanya karena anak kami memberikan setangkai bunga liar kepada saya yang dipetiknya dari dekat sawah.
"Buat Mamak cantik." ucapnya sambil tersenyum memeluk saya.
Bagaimana bahagianya saat tiba kembali kerumah, disambut rentangan tangan anak. Berlari sambil tertawa, mereka minta digendong. Seolah hanya kitalah dunia mereka. Dengan rindu yang teramat sangat, padahal baru dua jam meninggalkan mereka.
Atau betapa bahagianya para ibu, saat anak-anak bisa menghafal Alfatihah pertama kali, setelah mereka sendiri yang ajarkan. Karena itu artinya, insyaallah saat para ibu meninggal, akan ada amal jariyah yang akan mengalir setiap anak mereka membacanya.
Tapi tentu saya tak bisa memaksakan standar bahagia saya pada orang lain.
Karena ada yang ingin menjadi Shireen Sungkar; yang tetap cantik meski punya banyak anak.
Ada yang pengen jadi Cinta Laura yang gak mau punya anak, tapi tulus ingin adopsi dan rawat anak-anak terlantar.
Bahkan saya yakin juga tak sedikit yang ingin jadi Gita. Yang gak mau direpotkan dengan anak dan berharap mandul saja.
Yang pasti Tuhan menganugerahkan rahim bukan untuk sebuah ketidakbergunaan.
Sama seperti Tuhan menganugerahkan otak. Ada yang mau pakai, ada yang enggak.
Yang penting, jangan percaya apa kata Gita di kolom komentar, bahwa kalau punya anak, bikin kita jelek, dan gak punya anak bikin awet muda.
Nanti diketawain sama Shiren Sungkar, Wulan Guritno, atau Yuni Shara.
Jangan takut punya anak.
Karena menjadi ibu, akan membentuk kita jadi perempuan tangguh yang sanggup melakukan hal yang dulu kita kira mustahil.
Menjadi ibu, membentuk kita jadi manusia tulus, yang hanya memberi, tak harap kembaliiii, bagai sang surya ..... menyinari duniaaa ...
Udah, dibacanya jangan sambil nyanyi juga.
Saya hanya sempat tidur satu jam sebelum dini hari, lalu dua jam sebelum subuh. Padahal disaat yang sama saya sedang kurang sehat. Selain meriang, jempol tangan saya sakit akibat tulang ikan yang terjebak di sana.
Mana anak kedua sudah diingatkan oleh bunda gurunya, harus bawa bekal nasi pagi ini.
Syukurlah ia berhasil berangkat sekolah dengan sedikit saja drama; gak mau bangun.
Jelang siang, dua anak lagi yang bergadang dari semalam, masih saja tidak tidur. Yang kecil asik minta gendong. Yang besar terus menangis, tapi tak mau minum obat.
Pokoknya drama banget. Saya baru sempat sarapan jam sembilan pagi dan minumnya hampir jam sepuluh pagi. Belum lagi penampilan saya yang kian memprihatinkan. Udah mirip gelandangan yang sebulan gak mandi. Kalian tentu tau bagaimana baunya asi kalau sudah lama mengenai pakaian.
Setelah berusaha kuat selama belasan jam lamanya, akhirnya jelang Zuhur saya menyerah.
Saya menangis di kamar mandi, saat air yang saya panaskan dari gas elpiji terakhir, air yang ingin dipakai untuk membersihkan badan; malah tak sengaja tersenggol, lalu tumpah semua ke dalam bak.
"Ya Allah, kenapa berat sekali rasanya hari ini."
***
Lalu siangnya ....
Setelah menyantap Indomie untuk sedikit merelaksasi diri, lalu merebahkan diri sejenak sambil buka sosmed, saya malah dapat screenshot dari seorang influencer ini. Seorang perempuan yang mempopulerkan Child free setahun belakangan. Bahwa hidup tanpa anak lebih menarik, karena membesarkan anak itu tak mudah.
Gita Savitri.
Melihat balasan komentar Gita tentang resep awet muda adalah dengan tak punya anak; bebas bisa tidur 8 jam sehari, gak stress dengan teriakan anak-anak, saya mencoba menghubungkannya dengan rentetan drama seharian ini.
Jangan-jangan benar juga yang dia katakan?
***
Sejujurnya sejak Child free ini digaungkan, saya sudah menahan jempol untuk tidak ikut berkomentar. Karena bagi saya, semua orang berhak mendefinisikan bahagianya sendiri.
Ada yang meletakkan bahagianya pada harta. Ada yang meletakkan bahagianya pada keluarga.
Semua gak mesti sama.
Namun melihat bagaimana Gita yang makin kesini, makin kesana, saya jadi ingin juga ambil bagian.
Di beberapa hal, saya sebenarnya setuju dengan pendapat Gita. Kalau kita gak bisa mendidik anak dengan baik, lebih baik jangan punya anak. Jangan sampai sifat temperamen kita sebagai orang tua, malah menyebabkan anak-anak kita kelak tumbuh jadi orang jahat.
Lihat sendiri bagaimana penjara sudah penuh, tindak kriminal meningkat. Yang ada kita hanya membebani bumi dengan kelahiran manusia-manusia yang kelak tak punya nurani.
Lagian, ada sisi bagusnya juga childfree. Bisa mengurangi sedikit kepadatan penduduk bumi yang kian meresahkan.
Hanya saja, ini akan jadi masalah kalau yang menganut paham child free itu sebenarnya orang baik, namun terlanjur dibuat takut duluan saat membayangkan betapa merepotkan kalau punya anak. Sedangkan orang jahat malah beranak pinak dengan sentosa.
Kenapa gak emaknya para begal sadis, emaknya para pedofelia, emaknya koruptor, yang child free aja dulunya.
***
Sebenarnya menjadi orang tua bukan hanya semata tentang kerepotan di dalam rumah. Kompleks sekali rasanya jadi ibu.
Seperti rujak.
Ada kejutan rasa yang gak akan selalu sama.
Lagian berapa lama sih momen riweh sebagai ibu akan bertahan. Saat anak-anak sudah SMP saja, bisa dipastikan keadaan sudah berubah.
Yang ada kita sebagai ibu malah rindu bagaimana begitu "sweet" nya mereka dulu. Yang selalu menunggu kita pulang, selalu menjadikan kita tempat bercerita apapun dengan semangat.
Saya percaya, ketika Islam memuliakan seorang ibu (dengan meletakkan surga dibawah telapak kakinya) sudah pasti akan sangat banyak kebaikan bila kita mempunyai anak.
Begitu besar pahala perempuan yang membesarkan anak-anak mereka dengan tulus.
Segala amalan baik ke sesama manusia, seperti memberikan makan, membantu yang susah, menyayangi sesama, membagi ilmu kehidupan, sudah tercover dengan membesarkan anak saja sebenarnya. Makanya tak salah bila dikatakan, kalau perempuan ingin mendapatkan surga, di rumah saja sebenarnya juga sudah cukup. Membesarkan anak menjadi manusia baik.
***
Gita memang mengakui punya inner child, atau luka pengasuhan. Perlakuan ibunya di masa lalu konon membuatnya tak ingin punya anak.
Lalu, apakah luka pengasuhan ini sebenarnya bisa bisa dijadikan alasan?
Saya kenal seseorang yang punya inner child, sebut saja Aminah. Saya tahu kalau perempuan ini telah sering dipukuli oleh ibunya saat kecil, tanpa tahu alasannya.
Alhamdulillah kini Aminah berhasil menjadi ibu yang sangat baik untuk kedua anaknya, tak mengulang kesalahan ibunya itu saat menjadi orang tua. Setelah berjuang kuat, tak ada lagi jejak-jejak luka pengasuhan disana. Keluarga kecil mereka sangat bahagia.
Perlakuan ibunya dulu tak pernah diekspose ke publik, padahal dia rajin menulis dan bercerita. Followers juga banyak.
Saya juga pernah menonton pengakuan Zaskia Adya Mecca yang ternyata punya inner child sampe pernah ditarik rambut sama ibunya. Syukurlah ternyata dia tidak memilih child free di kemudian hari. Selain anaknya banyak, ilmu Parentingnya juga saya acungi jempol.
Bedanya, dia memilih menceritakan keburukan ibunya ke khalayak ramai. Mungkin atas dasar pembelajaran. Entahlah.
Lalu ada Gita, yang mengaku punya Inner Child. Ia memilih tak punya anak setelah mengaku terluka dengan pengasuhan ibunya.
Dia memilih menyalahkan inner child, dan menyalahkan ibunya pada khalayak ramai.
Jadi, semua tergantung kita sendiri, mau menyembuhkan luka seperti dua orang diatas, atau justru memelihara trauma seperti Gita dengan terus menyalahkan ibu.
***
Yang mesti kita ingat, dalam penggalan surat Al insyirah. Bahwa inna maal usri yusra. Bahkan Allah mengulangnya dua kali di surat ini. Seperti ingin menekankan apa yang yang sering kita lupakan saat bersedih.
"Bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan."
Sama halnya saat saya harus menjalani hari yang sedikit menyedihkan hari ini. Seharusnya saya ingat akan ada kebahagiaan di kemudian hari. Bahkan saya hanya perlu mengingat kalau sebelum hari ini, ada begitu banyak sekali hari baik yang telah saya nikmati.
Bukankah hidup hanya pergiliran waktu antara sedih dan senang.
Kalau hari ini saya repot karena anak. Saya perlu mengingat kalau kapan hari, bagaimana saya begitu bahagia. Hanya karena anak kami memberikan setangkai bunga liar kepada saya yang dipetiknya dari dekat sawah.
"Buat Mamak cantik." ucapnya sambil tersenyum memeluk saya.
Bagaimana bahagianya saat tiba kembali kerumah, disambut rentangan tangan anak. Berlari sambil tertawa, mereka minta digendong. Seolah hanya kitalah dunia mereka. Dengan rindu yang teramat sangat, padahal baru dua jam meninggalkan mereka.
Atau betapa bahagianya para ibu, saat anak-anak bisa menghafal Alfatihah pertama kali, setelah mereka sendiri yang ajarkan. Karena itu artinya, insyaallah saat para ibu meninggal, akan ada amal jariyah yang akan mengalir setiap anak mereka membacanya.
Tapi tentu saya tak bisa memaksakan standar bahagia saya pada orang lain.
Karena ada yang ingin menjadi Shireen Sungkar; yang tetap cantik meski punya banyak anak.
Ada yang pengen jadi Cinta Laura yang gak mau punya anak, tapi tulus ingin adopsi dan rawat anak-anak terlantar.
Bahkan saya yakin juga tak sedikit yang ingin jadi Gita. Yang gak mau direpotkan dengan anak dan berharap mandul saja.
Yang pasti Tuhan menganugerahkan rahim bukan untuk sebuah ketidakbergunaan.
Sama seperti Tuhan menganugerahkan otak. Ada yang mau pakai, ada yang enggak.
Yang penting, jangan percaya apa kata Gita di kolom komentar, bahwa kalau punya anak, bikin kita jelek, dan gak punya anak bikin awet muda.
Nanti diketawain sama Shiren Sungkar, Wulan Guritno, atau Yuni Shara.
Jangan takut punya anak.
Karena menjadi ibu, akan membentuk kita jadi perempuan tangguh yang sanggup melakukan hal yang dulu kita kira mustahil.
Menjadi ibu, membentuk kita jadi manusia tulus, yang hanya memberi, tak harap kembaliiii, bagai sang surya ..... menyinari duniaaa ...
Udah, dibacanya jangan sambil nyanyi juga.
Sumber: Facebook Safrina Syams