Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Kenapa Harus Kenapa?

{ Sebuah Tulisan Untuk Menghibur Diri ]

Dibandingkan kakak-kakak yang lain, masa kecil saya sedikit belepotan.

Mereka seringnya jadi anak gadis yang penurut, saya tidak demikian. Suka memanjat pepohonan, main di irigasi, memburu ikan di got, hingga membanting pintu kalau lagi kesal. 

Dulu saya anak yang paling banyak komplain.


Setiap Mamak memerintahkan sesuatu, ada saja yang saya tanyakan sebagai isyarat ketidaksetujuan. Terlebih terkait kebiasaan orang terdahulu yang "hamee" bila dilakukan, alias akan berakibat buruk. Setiap diperintahkan sesuatu, saya acapkali bertanya alasannya.
Mengapa saya tak boleh makan banyak telur, mengapa tak boleh duduk atas bantal, mengapa tak boleh duduk depan pintu, mengapa sebelum Magrib harus sudah dirumah? Kenapa uang jajan kakak 500 sementara saya 200?

"Kah asay ta peugah, sabee ka tanyoeng Pakoen! Menyoe ureung tuha yu; geu peubut, koen geu proteh!"

Mamak yang mulai kesal oleh saya yang segalanya butuh kenapa. Kenapa harus kenapa?
Seumuran itu saya belumlah paham bahwa apa yang orang tua perintahkan adalah demi kebaikan anaknya, yang saya tau cuma banyak perintah dan larangan. Padahal dibalik itu orang tua sudah paham betul bagaimana melindungi anaknya dengan baik.

Roda berputar, saya pun menjadi ibu.

Dan tingkah sulung kami menjelma seperti sebuah balasan atas apa yang saya lakukan dulu. Penyakit banyak komplain ini turun ke anak kami. Jika saya suruh atau saya larang, ada saja interupsinya, hampir dalam semua hal.

Sebagai satu saja contoh, saat ia saya larang keluar siang-siang. Dia komplain KENAPA kawannya yang lain dibolehkan orang tua mereka, sementara ia tidak.

"Mamak cuma urusin anak sendiri, gak urusin anak orang. Dia urusan Mamaknya sendiri," timpal saya.

"Kenapa Mamak gak kayak Mamak orang tu aja?" lanjutnya lagi.

"Lain rumah lain peraturannya. Kalau mau tinggal ma Mamak, ya ikut aturan Mamak," jawab saya.

"Untuk apa tidur siang. Malam kan udah tidur

Apa tidur-tidur terus," balasnya lagi.

"Biar cepet gedek. Biar sehat."

"Hanif kan emang sehat, gak sakit."

"Tapi Hanif itu kecil. Kalau disuruh tidur ya tidur!".

"Tapi...." Ia bersiap menyanggah lagi.

"Kalau disuruh orang tua itu dibuat aja! Bukan tanya kenapa ini kenapa itu!"

Dalam bahasa yang berbeda, akhirnya saya terpaksa mengulang ucapan Neneknya dulu kepada saya.

Ternyata begini lah rasanya.

Saya kira pasti banyak yang bernasib serupa, dipertanyakan, dikeluhkan oleh anaknya atas perintah kita kepada mereka.

Padahal apa yang orang tua lakukan untuk anaknya adalah wujud penjagaan terbaik.
Tetapi anak-anak asik mengeluh, mempertanyakan, seakan yang kita perintahkan adalah keburukan.

Wajar sebenarnya, karena namanya juga anak-anak, ingin tau banyak hal karena akalnya belum penuh, belum mengerti "cinta dan penjagaan" ibunya.

Tapi sebenarnya..

Kita yang dewasa; yang sudah berakal dan paham cinta ini juga melakukan hal yang sama.
Bedanya, kita kadang tak lagi mempertanyakan kehendak ibu, tapi mulai mempertanyakan kehendak Tuhan.

Kenapa Allah mengatur banyak hal.

Kenapa tak boleh menyentuh anjing padahal ia binatang setia, kenapa tak boleh pacaran padahal pacaran itu asik, kenapa gak boleh minum anggur padahal itu nikmat, kenapa riba dilarang padahal bisa bantu meminjamkan uang yang sangat kita butuhkan.

Kemudian kita paham, mudharat kesemua itu lebih besar daripada manfaatnya.

Dilain kisah, kita kadang juga mempertanyakan garis hidup yang harus kita lewati.

Tuhan.. Kenapa saya diuji dengan sakit sedemikian rupa?

Tuhan.. Kenapa Engkau belum mempertemukan jodoh saya?

Tuhan.. Kenapa orang lain begitu banyak engkau limpahkan kekayaan, sementara saya hidup susah?

Tuhan.. Kenapa Engkau uji kami dengan kehilangan buah hati?

Tuhan, kenapa begini..

Tuhan, kenapa begitu..

Padahal....

Jika ibu saja sedemikian paham bagaimana menjaga kita, apalagi Sang Pencipta; yang tau pasti kemampuan dan kebaikan untuk ciptaanNya.

Padahal...

Jika kita memang meyakini Allah Maha Penyayang, Allah sebaik-baik pelindung, maka hal yang kita anggap terburuk sekalipun, pastilah terbaik menurutNya; hal terbaik yang mungkin belum bisa kita pahami hari ini, karena kita memang masih "kecil" dalam mengimaniNya.

Sumber:Facebook Safrina Syams