PAUD Rasa SD atau SD Rasa PAUD
Anak saya pindahan dari Bogor ke satu kota,
SD Negeri terbaik di kota itu. Hampir semua guru S2. Akreditasi A pastinya. Guru juga kepala sekolah juara lomba PTK terbaik sampai tingkat nasional.
Gurunya berkirim surat kepada kami, saat itu saya sedang S3 di Bogor
Isi suratnya mohon perhatian orangtua, kemungkinan anak saya ini tidak akan naik ke kelas 3
Akhirnya, saya observasi lah selama 3 hari
Apa yg terjadi pada anak saya ini
Saya tidak melihat anak saya diantara kursi-kursi yang berjejer kaku ke depan.
Dimana anak saya berada???
3 hari diam-diam saya amati melalui jendela, keadaannya sama seperti itu.
Akhirnya saya ketuklah pintu kelas. Saya masih didepan pintu kelas. Gurunya sudah menyambut saya dg kalimat sambil menunjuk ke anak saya yang duduk dilantai tenggelam diantara kursi dan meja: *ibu, lihat itu anak ibu. Tidak mau belajar maunya main aja*
Saya terdiam, lalu berkata boleh saya masuk dulu untuk bicara dg ibu.
Singkat cerita saat selesai kelas hari itu, saya sudah menunggu anak saya lalu jongkok dan berkata: *bagaimana perasaanmu hari ini, nak?*
Dia pun menangis
Adampun bercerita bahwa dia suka menggambar dan kalau ulangan dia tidak kerjakan semua. Bukan karena tidak bisa tapi ingin cepat2 bisa menggambar.
Akhirnya anak saya pindahkan ke SD lain. Disini dia berkembang sampai juara gambar, ikut olimpiade matematika bahkan di SMP juara menulis tema Sekolah Layak Anak
Tulisannya menggugah betul. Harusnya sekolahlah yang mengajarkan kejujuran dan keadilan serta kasih sayang pada kami. Seharusnya guru agama itu paling human.
Saat ini yang terjadi, di SD kelas 1 buku ajarnya sudah akademik dan menuntut anak bisa calistung. Idealnya, guru kelas 1 masih melanjutkan Pra Keaksaraan dg aktif & happy learning. *Merdeka Belajar* yang Mendikbud usung sudah sangat tepat.
Karena tuntutan SD kelas awalnya sudah sangat akademik, yang kami bangun pada guru2 PAUD mendapatkan tantangan dari orangtua dan masyarakat.
Banyak guru yang mengeluh, jika kami *true play based* dan tidak ajarkan calistung secara akademik, maka orangtua tidak memilih memasukan anaknya ke PAUD kami
Sekarang bagaimana strateginya untuk sesuatu yang sudah kronis saat ini.
Saran saya:
1. Berikan pelatihan PAUD pada guru SD kelas awal 1-3.
2. Pahamkan para guru Tahap Perkembangan Anak sehingga mereka sadar batasan2 menuntut anak
3. Pahamkan guru2 tentang *Pembelajaran berbasis otak* sehingga mrk sadar betul dampak jangka pendek dan panjang dari yang mereka lakukan.
4. Sadarkan para guru kelas 1-3 bahwa active, happy learning, merdeka belajar, cara yang sesuai utk belajar yang mencapai tujuan.
Jika tidak? Yang terjadi justru sebaliknya *Pendidikan yang Membodohkan* atau pendidikan yang justru mengajarkan kekerasan sejak dini.
5. Perbaiki buku Ajar SD kelas rendah sehingga tidak akademik seperti saat ini.
6. Ciptakan Lingkungan Belajar Berkualitas.
7. Program orientasi pengenalan SD pada anak2 PAUD 6 bulan menjelang selesai di PAUD perlu dilakukan. Seperti kunjungan, kelas bersama, bermain bersama.
8. Guru2 SD perlu kunjungan dan observasi ke PAUD usia 5-6 tahun untuk mendapatkan gambaran pembelajaran di PAUD.
9. Akreditasi SD perlu penyesuaian
Jika bisa yang diperbaiki akar permasalahannya bukan gejalanya dg cara:
1. Revisi UU Sisdiknas
PAUD itu 0-8 tahun
2. Ketersambungan kurikulum dari PAUD, SD, SMP, SLTA
3. Gurunya dijenjang manapun harus *Profesional*
Bundo Netti
Minggu, 17 Oktober 2021
Kelas 2 SD.
SD Negeri terbaik di kota itu. Hampir semua guru S2. Akreditasi A pastinya. Guru juga kepala sekolah juara lomba PTK terbaik sampai tingkat nasional.
Gurunya berkirim surat kepada kami, saat itu saya sedang S3 di Bogor
Isi suratnya mohon perhatian orangtua, kemungkinan anak saya ini tidak akan naik ke kelas 3
Akhirnya, saya observasi lah selama 3 hari
Apa yg terjadi pada anak saya ini
Saya tidak melihat anak saya diantara kursi-kursi yang berjejer kaku ke depan.
Dimana anak saya berada???
3 hari diam-diam saya amati melalui jendela, keadaannya sama seperti itu.
Akhirnya saya ketuklah pintu kelas. Saya masih didepan pintu kelas. Gurunya sudah menyambut saya dg kalimat sambil menunjuk ke anak saya yang duduk dilantai tenggelam diantara kursi dan meja: *ibu, lihat itu anak ibu. Tidak mau belajar maunya main aja*
Saya terdiam, lalu berkata boleh saya masuk dulu untuk bicara dg ibu.
Singkat cerita saat selesai kelas hari itu, saya sudah menunggu anak saya lalu jongkok dan berkata: *bagaimana perasaanmu hari ini, nak?*
Dia pun menangis
Adam malu....
Adampun bercerita bahwa dia suka menggambar dan kalau ulangan dia tidak kerjakan semua. Bukan karena tidak bisa tapi ingin cepat2 bisa menggambar.
Akhirnya anak saya pindahkan ke SD lain. Disini dia berkembang sampai juara gambar, ikut olimpiade matematika bahkan di SMP juara menulis tema Sekolah Layak Anak
Tulisannya menggugah betul. Harusnya sekolahlah yang mengajarkan kejujuran dan keadilan serta kasih sayang pada kami. Seharusnya guru agama itu paling human.
Seharusnya guru matematika & IPA itu gak usah marah2 karena pelajarannya aja udah susah minta ampun. Seharusnya guru tidak hanya menyayangi anak yang pintar-pintar aja
Kembali ke tema SD Rasa PAUD, secara teori perkembangan anak SD awal kelas 1-3 itu masih anak PAUD. Itulah sebabnya mengapa di luarnegeri PAUD itu 0-8 tahun.
Kembali ke tema SD Rasa PAUD, secara teori perkembangan anak SD awal kelas 1-3 itu masih anak PAUD. Itulah sebabnya mengapa di luarnegeri PAUD itu 0-8 tahun.
Saat ini yang terjadi, di SD kelas 1 buku ajarnya sudah akademik dan menuntut anak bisa calistung. Idealnya, guru kelas 1 masih melanjutkan Pra Keaksaraan dg aktif & happy learning. *Merdeka Belajar* yang Mendikbud usung sudah sangat tepat.
Karena tuntutan SD kelas awalnya sudah sangat akademik, yang kami bangun pada guru2 PAUD mendapatkan tantangan dari orangtua dan masyarakat.
Banyak guru yang mengeluh, jika kami *true play based* dan tidak ajarkan calistung secara akademik, maka orangtua tidak memilih memasukan anaknya ke PAUD kami
Sekarang bagaimana strateginya untuk sesuatu yang sudah kronis saat ini.
Saran saya:
1. Berikan pelatihan PAUD pada guru SD kelas awal 1-3.
2. Pahamkan para guru Tahap Perkembangan Anak sehingga mereka sadar batasan2 menuntut anak
3. Pahamkan guru2 tentang *Pembelajaran berbasis otak* sehingga mrk sadar betul dampak jangka pendek dan panjang dari yang mereka lakukan.
4. Sadarkan para guru kelas 1-3 bahwa active, happy learning, merdeka belajar, cara yang sesuai utk belajar yang mencapai tujuan.
Jika tidak? Yang terjadi justru sebaliknya *Pendidikan yang Membodohkan* atau pendidikan yang justru mengajarkan kekerasan sejak dini.
5. Perbaiki buku Ajar SD kelas rendah sehingga tidak akademik seperti saat ini.
6. Ciptakan Lingkungan Belajar Berkualitas.
7. Program orientasi pengenalan SD pada anak2 PAUD 6 bulan menjelang selesai di PAUD perlu dilakukan. Seperti kunjungan, kelas bersama, bermain bersama.
8. Guru2 SD perlu kunjungan dan observasi ke PAUD usia 5-6 tahun untuk mendapatkan gambaran pembelajaran di PAUD.
9. Akreditasi SD perlu penyesuaian
Jika bisa yang diperbaiki akar permasalahannya bukan gejalanya dg cara:
1. Revisi UU Sisdiknas
PAUD itu 0-8 tahun
2. Ketersambungan kurikulum dari PAUD, SD, SMP, SLTA
3. Gurunya dijenjang manapun harus *Profesional*
Bundo Netti
Minggu, 17 Oktober 2021
Sumber: Facebook Safrina Syams