Perjuangan itu Melawan Duka Lara, Konflik yang Menyandera dan Membakar Apa Saja
Sementara adik kandungku yang bernama Muslim tidak mungkin keluar dari rumah untuk menghalau orang-orang tak dikenal yang bersenjata tersebut selain hanya bisa pasrah, berdoa dan sudah tentu ia sedang dalam ketakutan dan bersedih hati. Berteriak pun tak akan mungkin terdengar ke rumah para tetangga. Jikapun suara teriakannya memanggil bantuan dapat terdengar misalnya, maka para tetangga juga belum tentu berani datang membantu.
Sehari sebelumnya, yaitu Senin, 20 Agustus 2001 kedua orang tuaku bersama kakak dan adik kandungku telah berangkat ke Banda Aceh. Secara rutin sejak aku memimpin perjuangan gerakan damai sipil Aceh melalui Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) dari awal tahun 1999, aku memang tidak lagi pulang atau mudik ke kampung karena alasan keamanan serta kenyamanan warganya.
Bek meudaleh-daleh (jangan sampai aku dijadikan sebab akibat) ketidaknyamanan kampung dan warganya. Kedua orang tuaku juga memberikan advis demikian, karena mereka pada era sebelumnya telah berpengalaman, bagaimana ganasnya suatu konflik dan perang yang di dalamnya sering bercampur fitnah, agitasi dan provokasi tak terkendali.
Kali ini kedua orang tua tercinta dan keluarga kandungku datang ke Banda Aceh sekaligus untuk melihat istri dan putra sulung aku yang baru berusia 5 bulan. Juga tentunya untuk berkunjung ke penjara Lembaga Pemasyarakatan (LP) Keudah Banda Aceh dimana diriku masih ditahan dan dipenjarakan oleh pemerintah RI karena perjuanganku bersama SIRA untuk kepentingan Aceh.
Seperti biasa, kedatangan mereka pasti selalu membawa sejumlah makanan dan masakan kesukaan aku yang telah mereka pahami sejak aku masih menetap di kampung halaman dulu. Kedatangan mereka ke rumah tempat tinggal istri dan anakku di Banda Aceh tentu saja selalu menjadi kebahagiaan khsusus, apalagi diriku masih ditahan di penjara saat itu.
Selama aku ditahan di penjara, kebutuhan kepada kedua orang tua dan saudara kandung untuk sering-sering datang ke Banda Aceh semakin terasa bagi diriku untuk senantiasa menyemangati sang istri yang harus melahirkan serta merawat putra pertamaku yang aku beri nama Muhammad Asad Al-Muharriri Al-Asyiy. Karena aku tak dapat hadir dan melihat kelahirannya.
Aku baru menyentuh putra pertamaku itu setelah acara adat turun tanah saat ia berusia 44 hari. Sang buah hati tercinta pun baru di bawa ke penjara untuk aku lihat, sentuh, doakan dan menggendongnya sampai petugas sipir penjara memberitahukan limit waktu yang disediakan untukku hari itu.
Bulan Agustus 2001 itu sebenarnya bagi diriku keluarga dekat dan para sahabat seperjuangan sedang menunggu hari bebas yang akan jatuh pada Rabu, 10 Oktober 2001, setelah ditangkap dan ditahan sejak hampir setahun, yaitu sejak Senin, 20 November 2000.
Tetapi, kabar dibakarnya rumah milik kedua orang tua menjadi ujian tambahan dan kisah nyata yang semakin melengkapi bahagian-bahagian perjuangan damai sipil Aceh yang aku pimpinan dengan organisasi payung perjuangan bernama SIRA.** (Bersambung)
Sebab, diantara karakter konflik dan perang adalah memaksakan terciptanya dehumanisme dengan beragam pola shock therapy. Hal mana orang-orang atau warga dipaksa takut dan sudah pasti lebih memilih menyelamatkan diri mereka, tak akan mau nampak sebagai orang-orang yang ikut campur tangan dalam suatu hal yang sedang terjadi pada orang-orang lain. Apalagi untuk membantu, tidak perlu diharapkan berlebihan.
Sehari sebelumnya, yaitu Senin, 20 Agustus 2001 kedua orang tuaku bersama kakak dan adik kandungku telah berangkat ke Banda Aceh. Secara rutin sejak aku memimpin perjuangan gerakan damai sipil Aceh melalui Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) dari awal tahun 1999, aku memang tidak lagi pulang atau mudik ke kampung karena alasan keamanan serta kenyamanan warganya.
Bek meudaleh-daleh (jangan sampai aku dijadikan sebab akibat) ketidaknyamanan kampung dan warganya. Kedua orang tuaku juga memberikan advis demikian, karena mereka pada era sebelumnya telah berpengalaman, bagaimana ganasnya suatu konflik dan perang yang di dalamnya sering bercampur fitnah, agitasi dan provokasi tak terkendali.
Kali ini kedua orang tua tercinta dan keluarga kandungku datang ke Banda Aceh sekaligus untuk melihat istri dan putra sulung aku yang baru berusia 5 bulan. Juga tentunya untuk berkunjung ke penjara Lembaga Pemasyarakatan (LP) Keudah Banda Aceh dimana diriku masih ditahan dan dipenjarakan oleh pemerintah RI karena perjuanganku bersama SIRA untuk kepentingan Aceh.
Seperti biasa, kedatangan mereka pasti selalu membawa sejumlah makanan dan masakan kesukaan aku yang telah mereka pahami sejak aku masih menetap di kampung halaman dulu. Kedatangan mereka ke rumah tempat tinggal istri dan anakku di Banda Aceh tentu saja selalu menjadi kebahagiaan khsusus, apalagi diriku masih ditahan di penjara saat itu.
Selama aku ditahan di penjara, kebutuhan kepada kedua orang tua dan saudara kandung untuk sering-sering datang ke Banda Aceh semakin terasa bagi diriku untuk senantiasa menyemangati sang istri yang harus melahirkan serta merawat putra pertamaku yang aku beri nama Muhammad Asad Al-Muharriri Al-Asyiy. Karena aku tak dapat hadir dan melihat kelahirannya.
Aku baru menyentuh putra pertamaku itu setelah acara adat turun tanah saat ia berusia 44 hari. Sang buah hati tercinta pun baru di bawa ke penjara untuk aku lihat, sentuh, doakan dan menggendongnya sampai petugas sipir penjara memberitahukan limit waktu yang disediakan untukku hari itu.
Bulan Agustus 2001 itu sebenarnya bagi diriku keluarga dekat dan para sahabat seperjuangan sedang menunggu hari bebas yang akan jatuh pada Rabu, 10 Oktober 2001, setelah ditangkap dan ditahan sejak hampir setahun, yaitu sejak Senin, 20 November 2000.
Tetapi, kabar dibakarnya rumah milik kedua orang tua menjadi ujian tambahan dan kisah nyata yang semakin melengkapi bahagian-bahagian perjuangan damai sipil Aceh yang aku pimpinan dengan organisasi payung perjuangan bernama SIRA.** (Bersambung)
Sumber: Facebook Muhammad Nazar