Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Sepuluh Hal Yang Tidak Ada Di Aceh

Di sosial media ini, saya kerap sekali mendapatkan komentar miring tentang Aceh. Mulai dari yang mengatakan munafik, sok suci, ekstrim, hingga mendoakan biar kami kena Tsunami lagi. Terlebih kalau ada berita hukum cambuk, itu pada banjir sumpah serapah. Seolah kalau suami atau istri mereka ketahuan selingkuh, hanya ikhlas dihukum hafal surat 3 Qul saja. Jangan dicambuk.
Sepuluh Hal Yang Tidak Ada Di Aceh

Namun anehnya, belakangan sempat rame postingan di Instagram tentang betapa nyamannya Aceh. Gak cuma di satu akun berita.

Karena ini kejadian langka, saya memilih mengscreenshoot beberapa saja. Karena, bila dulunya framing buruk rata-rata ditulis oleh yang BELUM pernah ke Aceh, maka yang saya screenshot kali ini, adalah pengakuan dari mereka yang SUDAH langsung ke Aceh dan melihat sendiri faktanya.

***

Walau tak sepenuhnya benar yang dipaparkan oleh akun Merinding dan Islamiqpedia, tapi sebenarnya itu sudah cukup mewakili bagaimana betahnya kami di tanah sendiri, sekalipun diluaran sana entah seburuk apa yang orang pikirkan.

Sebagai penyeimbang. Saya selaku orang Aceh akan memaparkan 10 hal yang tidak ada di sini sebagai pertimbangan apakah anda akan betah bila tinggal di sini.

1. Tidak ada Mixue dan McDonald's

Jangan cari salah satu produk China dan Amerika tersebut disini. Kedua gerai itu memang hampir merata di seluruh provinsi, tapi tidak demikian dengan di sudut paling barat Indonesia.

Untungnya para warga masih belum bosan dengan Mie Aceh dan sanger. Sekalipun begitu mudah mencari warung kopi yang menjajakan keduanya disini --karena tiap kilometer sudah pasti ada-- anehnya belum ada kata cukup untuk Mie Aceh dan Sanger. Ayam Tangkap Aceh juga jauh lebih kaya rempah daripada ayam buatan bangsa kulit putih. Ketiadaan Mixue dan McDonald's bukan perkara besar.

2. Tidak ada tempat hiburan. Tidak ada Mall, Bioskop & Diskotik.

Untungnya Aceh itu dikelilingi lautan. Kita punya panorama bahari yang begitu biru, dipadukan suara deburan ombak, serta hidangan ikan bakar nan segar; di hampir semua kabupaten. Apalagi pesona Sabang, Pulau Banyak dan Danau Laut Tawar.

Kesemua itu terlalu berharga untuk ditukar dengan sebuah keadaan gelap, diiringi kebisingan musik dan bau alkohol, seperti tempat bernama diskotik.

Aceh kurang hiburan?

Saya jadi ingat kata Koh Denis, bahwa sebuah bangsa yang maju peradabannya itu biasanya karena orang-orang disana suka dengan keilmuan. Jadi, orang sibuk mencari tempat menuntut ilmu. Tidak pernah ada dalam sejarah negara maju, bahwa mereka maju karena gemar ke tempat hiburan.

Jangankan Diskotik, tempat karoke di Aceh saja hanya bisa dihitung dengan sebelah tangan. Itupun kalau masih ada.

Universitas Syiah Kuala saat ini seringkali masuk 10 besar kampus terbaik di Indonesia oleh berbagai versi. Dan UIN Ar-Raniry masuk 5 besar perguruan Tinggi Keagamaan Terbaik versi Kamenag.

3. Tidak Ada Orang Kaya.

Karena konon katanya ini provinsi miskin, jadi wajar ya kalau gak banyak orang kaya. Disini tidak populer menggelar resepsi mewah di hotel. Tapi selama tiga bulan maulid, sejak Rabiul Awal hingga Jumadil Awal, bisa dipastikan warga disini kenyang dengan jamuan kenduri dari seluruh tempat.

Di Aceh juga tak lazim menyebut emas dengan satuan gram. Di sini hitungan berat yang dipakai adalah Mayam (1 Mayam = 3,3 gram). Jadi dalam lafadz Ijab Qabul pernikahan hampir semua maharnya pakai Mayam. Kalau perempuan daerah Kutaradja biasanya 10-15 mayam. Dan wilayah Sigli bisa 2x atau 3x lipat dari itu. Walaupun dinobatkan sebagai provinsi miskin, emas sebanyak itu tetap akan dipenuhi oleh lelaki Aceh yang benar-benar menginginkan pernikahan.

Selain itu di Aceh juga ada tradisi Mak Meugang, dimana dua hari sebelum Ramadhan warga beramai-ramai berburu satu atau dua kilo daging sapi untuk dimasak aneka kuah untuk persiapan puasa. Dua atau tiga menu olahan daging sudah pasti diusahakan ada, meski bukan orang kaya.

Dan walau dikata provinsi miskin, tapi uniknya cikal bakal pesawat pertama Indonesia serta emas di puncak monas, juga atas sumbangan orang miskin disini.

4. Tidak ada Cafee/Toko yang buka saat Magrib dan Jumat.

Disini toko-toko akan tutup semua kalau Maghrib. Mungkin karena tradisi dulu kalau Maghrib adalah waktu sakral; untuk pergi mengaji. Jadi walaupun sekarang anak-anak pergi mengaji sudah sore, tradisi ini masih berumur panjang. Kalaupun ada warung kopi atau Cafee yang bandel, mereka bakal tutup di luarnya saja dan membiarkan pengunjung yang belum pulang untuk tetap disana. Alias tidak menerima pengunjung baru selama Maghrib.

5. Tidak ada bikini.

Kalau non muslim tetap ada yang pakai You Can See atau celana pendek kok, tapi kalau Bikini memang gak pernah ada ceritanya sekalipun tampak di pantai. Kecuali di Sabang barangkali, pulau eksotis itu memang jadi incaran turis mancanegara.

6. Tidak ada begal dan tawuran.

Tidak pernah ada, dan semoga saja tidak akan pernah terjadi dua hal tersebut di Aceh. Bila dibandingkan kota-kota besar, tingkat kejahatan di Aceh masih sangat jauh lebih rendah.
Inilah yang bikin kami merasa nyaman sekali hidup disini. Semiskin-miskin orang Aceh, tak ada yang tega untuk merampas harta orang dengan cara sadis.

8. Tidak ada tempat di hati kami untuk orang Jawa.

Saya kaget, hingga tahun 2023, masih saja menemukan tuduhan bahwa Aceh membenci Jawa; sampai diperlakukan buruk disini. Begini, biar kita ringkaskan duduk perkaranya.
Pernah diperlakukan tidak manusiawi oleh pemerintah pusat (dalam hal ini aparat); dibuat cacat seumur hidup, diperkosa, dibantai secara massal; membuat Aceh dulu melampiaskan amarahnya pada orang Jawa.

Namun itu hanya sebuah masa lalu, saat masa konflik.

Datanglah ke Aceh sekarang. Lalu lihat, betapa banyaknya orang jawa yang memilih menetap disini sudah puluhan tahun (mulai saat transmigrasi) dan terus bertambah pendatang baru hingga sekarang. Kalau seandainya mendapatkan perlakuan tak baik, tentu sudah dari dulu mereka angkat kaki.

Ada penjual perkakas rumah tangga, es dawet, siomay, lalu lalang di tiap desa. Saat Wong Solo sudah sepi peminat di pulau Jawa sana, nyatanya ada 5 cabang di Banda Aceh. Selain itu orang Aceh tidak bisa membuat Mie Ayam atau Mie Pangsit seenak olahan orang Jawa. Jadi jangan heran, kalau disini hanya di tempat yang dijual oleh orang Jawa yang ramai peminatnya.

Masih berani bilang oran
g Jawa jangan datang ke Aceh?

Orang Jawa memang gak ada dihati. Tapi sudah ke jantung, lambung, darah semuanya. Wong makanannya semua udah dilahap sama orang disini sampai jadi darah.

9. Tidak ada bank lain selain Bank Syariah.

Ini masih polemik. Tapi saya pribadi tetap ingin bank syariah panjang umurnya, sehat selalu. Walaupun kemarin sempat bermasalah selama beberapa hari.

10. Tidak ada kata terima kasih.

Dalam bahasa Aceh tidak ada padanan kata yang sesuai untuk kata terima kasih. Kalau ada yang mengatakan Teurimong Geunaseh itu hanyalah terjemahan paksa. Karena lazimnya orang dulu, kalau ada bantuan maupun pemberian yang baik dari seseorang, mereka akan mengucapkan Alhamdulillah. Lalu dibumbui dengan sedikit pujian atau doa, agar yang membantu mereka diberikan kesehatan, kemudahan, atau rezeki yang berlimpah.

Ya karena pada hakikatnya segenap nikmat datangnya dari Allah, dan manusia hanya wasilah, jadi syukur tetap kepada Allah yang utama. Tanpa luput mengharapkan dan membalas kebaikan dari orang yang telah berbuat baik kepada mereka.
***
Jadi bagaimana, kira-kira akan betah tinggal di Aceh?

Sumber: Facebook Safrina Syams