Pintar Saja Tidak Cukup
Membaca novel ke-14 karya Andrea Hirata yang berjudul Brianna dan Bottomwise, tersadar akan satu kalimat, "Mengapa anak-anak yang sangat berbakat justru terlahir dari keluarga yang menyedihkan?" Kalimat ini, mungkin sedikit memberi jawaban, kenapa anak-anak yang dulunya sangat cerdas, juara kelas, setelah dewasa justru menjadi pengangguran atau orang yang tidak diperhitungkan.
Ya, karena untuk menjadi seseorang yang "terhormat" di dunia ini, berbekal kecerdasan saja tidak cukup. Kita butuh kecukupan finansial dan kelengkapan fasilitas guna menunjang apa yang ingin kita raih. Anak-anak yang terlahir dengan kecerdasan diatas rata-rata dalam keluarga yang menyedihkan, tentu saja akan kalah dengan anak-anak yang terlahir dari keluarga berkecukupan dengan kecerdasan biasa saja. Mereka memiliki modal yang cukup untuk melanjutkan pendidikan yang kemudian berpotensi mendapatkan pekerjaan yang dihormati. Sedangkan anak-anak yang sangat cerdas tadi, biasanya pendidikannya akan terhenti setelah jenjang sekolah gratis selesai, kecuali satu dua orang yang benar-benar bernasib baik.
Banyak juga, kok, anak-anak yang sangat cerdas dan berbakat saat sekolah, ketika dewasa menjadi orang yang sangat hebat, tentu saja didukung oleh finansial keluarga dan keinginan yang kuat dari dirinya sendiri.
Saya punya seorang adik perempuan, langganan peringkat satu dan dua selama bersekolah. Keinginannya untuk belajar ke luar negeri begitu besar, ia utarakan niatnya tersebut pada Ayah,
"Nak, Ayah hanya sanggup menyekolahkanmu sampai S1 saja, sama seperti Kakak-kakakmu, dan adik-adikmu juga, jika Ayah panjang umur." tegas Ayah setiap kali ia membicarakan hal itu.
Adik saya terdiam, ia terus mencari cara demi mendapatkan beasiswa ke sana kemari agar cita-citanya tersebut tercapai. Siapa sangka, kuasa Allah, ia telah menyelesaikan pendidikan S2-nya di luar negeri dan sampai saat ini telah bekerja di sebuah perusahaan asing yang gajinya berkali-kali lipat dari gaji suami saya yang hanya seorang ASN.
Dia adalah contoh lain, buat kalian yang suka tanya, sang juara satu dulu, sekarang udah jadi apa?
Sungguh, banyak teman-teman dan Ibu-ibu di sini yang meminta pada saya,
"Mak Nabila, buatlah les Bahasa Inggris, sayang ijazahnya."
"Mak Nabila, buatlah les Matematika,"
"Mak Nabila, buatlah les menjahit untuk anak-anak gadis di sini,"
Tapi, lagi-lagi, sampai hari ini saya masih memilih bekerja hanya sebagai "babu" di rumah sendiri dan sangat menyukainya.
Salam waras, Mak..
Ya, karena untuk menjadi seseorang yang "terhormat" di dunia ini, berbekal kecerdasan saja tidak cukup. Kita butuh kecukupan finansial dan kelengkapan fasilitas guna menunjang apa yang ingin kita raih. Anak-anak yang terlahir dengan kecerdasan diatas rata-rata dalam keluarga yang menyedihkan, tentu saja akan kalah dengan anak-anak yang terlahir dari keluarga berkecukupan dengan kecerdasan biasa saja. Mereka memiliki modal yang cukup untuk melanjutkan pendidikan yang kemudian berpotensi mendapatkan pekerjaan yang dihormati. Sedangkan anak-anak yang sangat cerdas tadi, biasanya pendidikannya akan terhenti setelah jenjang sekolah gratis selesai, kecuali satu dua orang yang benar-benar bernasib baik.
Banyak juga, kok, anak-anak yang sangat cerdas dan berbakat saat sekolah, ketika dewasa menjadi orang yang sangat hebat, tentu saja didukung oleh finansial keluarga dan keinginan yang kuat dari dirinya sendiri.
Saya punya seorang adik perempuan, langganan peringkat satu dan dua selama bersekolah. Keinginannya untuk belajar ke luar negeri begitu besar, ia utarakan niatnya tersebut pada Ayah,
"Nak, Ayah hanya sanggup menyekolahkanmu sampai S1 saja, sama seperti Kakak-kakakmu, dan adik-adikmu juga, jika Ayah panjang umur." tegas Ayah setiap kali ia membicarakan hal itu.
Adik saya terdiam, ia terus mencari cara demi mendapatkan beasiswa ke sana kemari agar cita-citanya tersebut tercapai. Siapa sangka, kuasa Allah, ia telah menyelesaikan pendidikan S2-nya di luar negeri dan sampai saat ini telah bekerja di sebuah perusahaan asing yang gajinya berkali-kali lipat dari gaji suami saya yang hanya seorang ASN.
Dia adalah contoh lain, buat kalian yang suka tanya, sang juara satu dulu, sekarang udah jadi apa?
Sungguh, banyak teman-teman dan Ibu-ibu di sini yang meminta pada saya,
"Mak Nabila, buatlah les Bahasa Inggris, sayang ijazahnya."
"Mak Nabila, buatlah les Matematika,"
"Mak Nabila, buatlah les menjahit untuk anak-anak gadis di sini,"
Tapi, lagi-lagi, sampai hari ini saya masih memilih bekerja hanya sebagai "babu" di rumah sendiri dan sangat menyukainya.
Salam waras, Mak..
Sumber: Facebook Ismi Marnizar