Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Tentang Bahasa Yang Saya Gunakan

Beberapa kali bertemu orang baru, entah kenapa saya sering di tebak orang Sigli atau Lhokseumawe.
Tentang Bahasa Yang Saya Gunakan

Tak tau juga apa patokan mereka, kenapa tak bisa melihat jejak Aceh Besar di wajah saya. Padahal tak bisakah mereka melihat, bahwa ada jejak kuah Sie Reuboh di wajah ini? Ceuken.

Jadi setelah berulang kali di duga seperti ini, maka untuk menampakkan identitas sesungguhnya, dengan lantang saya akan pakai logat Aceh Rayek dimanapun.

Dulu, sempat beberapa kali mendapati bahasa Aceh Rayek kami sering dijadikan objek tertawaan bagi segelintir orang karena logatnya yang aneh.

Bukan satu dua kali mendengar pengakuan bahwa bahwa mereka pusing mendengar orang Aceh Besar berbicara. Lalu mencoba meniru, walau nyatanya lebih mirip sebuah olok-olok.
Tak apa, asal mereka senang.

Karena dengan bangga kami berkata, mereka tak bisa meniru logat kami. Tapi kami bisa meniru logat mereka

Jadi FYI, jika ketemu saya di jalan, dan kalian orang Aceh, maka jangan pernah ajak saya ngomong pakai bahasa Indonesia. Saya akan merasa ngomong dengan orang asing.
Di kolom chat pun, saya tetap pakai bahasa aceh.

Saya pakai bahasa Indonesia hanya saat berbagi ide, berbagi cerita, yang kira-kira jangkauannya akan sedikit luas. Semacam untuk bermedsos. Karena disini teman saya gak cuma suku Aceh.

Untuk penyeimbang, makanya saya buat serial Apa Maun. Agar identitas saya tetap ada.
Walaupun keyboard tanpa dukungan diakritik, bahkan penggunaan "eu, ue, e, o, oe, eo, " dan sebagainya masih banyak tertukar, tak menyurutkan langkah ini.

Setidaknya kalau ada tuduhan bahwa orang Aceh tak ikut melestarikan bahasanya sendiri, mudah-mudahan saya tak termasuk di dalamnya.

Semoga kesalahan satu huruf saat menulis tak membuat Bahasa Aceh itu punah. Ia justru punah kalau jarang dituturkan.

Rusak barangkali iya. Tapi itu hanya terjadi bila ada yang tahu itu salah, namun memilih tak ikut mengoreksi.

Sedih memang kenyataannya penggunaan bahasa Aceh makin memprihatinkan. Banyak kosa kata yang bahkan hampir tak diketahui lagi artinya, karena jarangnya orang menggunakan kata tersebut lagi.

Contoh, orang sudah sangat jarang pakai kata Lingkong, namun lebih suka pakai kata agar-agar.

Saya akui, bagaimana saya menulis bahasa Aceh masih payah. Tapi jangan ragukan saat saya berbicara.

Pernah seorang teman sekolah dulu berkata bahwa bahasa yang yang saya pakai saat menulis di status dengan bahasa yang saya pakai saat berbicara tak mirip.
Katanya seolah itu dua orang yang berbeda.

Jadi tak apa.

Kalau ditanya mana versi seorang Safrina aslinya. Tentu bukan yang versi di status jawabannya. Dunia maya ini hanya kamuflase semata.

Versi asli saya itu, Aceh Asli.

Keras kepala, yang penampilannya sedikit berantakan.

Kebetulan karena hobi saya merangkai kata, makanya mungkin kalimat yang sampai ke pemahaman yang baca sedikit manis.

Seolah cerita yang saya menarik, seolah hidup yang saya kisah kan terlihat bagaimana. Padahal kenyataannya setiap orang punya kisah menarik dalam hidupnya, bahkan banyak kisah-kisah yang luar biasa yang saya dengarkan sendiri dari pelakunya.

Hanya saja, mereka tidak menuliskannya ...

Sumber: Facebook Safrina Syams