Tentang Hobi Lainnya
Saya kegirangan saat fosil ini dikirimkan seorang teman, di kolom komentar. Karena ini sisa sejarah 14 tahun lalu, saat saya masih rajin menggambar pakai pulpen dan pensil.
Sekarang, gak pernah lagi menggambar ... makanya saya sebut foto ini Fosil
Dan gara-gara menggambar. Ada kisah menarik.
Begini ceritanya.
Suatu saat ketika masih jadi mahasiswi--saat jam istirahat--seorang teman mendekati saya.
"Cap, bisa gambar kan? Tolongin ibu inilah. Kami gak bisa tolong."
Seorang perempuan paruh baya muncul dari belakang teman saya ini. Dari penampilannya, sepertinya beliau merupakan guru yang tengah ikut sertifikasi di kampus kami.
"Tolong saya lah Nak. Ibuk gak bisa gambar, kami disuruh gambar materi ajar. Contoh orang masuk masjid pakai kaki kanan ...."
Wajahnya terlihat benar-benar memohon, tak tega untuk ditolak.
"Tapi Buk, kalau gak bagus gak apa-apa ya." ucap saya sambil nyengir, memberi sebuah peringatan dini.
"Gak apa Nak, ibuk emang sama sekali gak bisa."
Akhirnya saya mengambil kertas yang diulurkannya, lalu mencoba mencoret-coret sesuatu.
Sambil menggambar, kami mengobrol basa-basi. Tentang dimana ibu tersebut mengajar, dimana saya tinggal, dan sebagainya. Hingga terungkap bahwa anak beliau menikah dengan kerabat kami. Rupanya kami mengenal orang yang sama, besan beliau merupakan tetangga kami.
Usai menggambar beliau pamit dan mengucapkan terima kasih. Katanya setelah masuk kelas, nanti beliau akan dijemput anak lelakinya.
Dan saya nyaris melupakan penggalan kisah ini hingga setahun setelahnya.
Ada seorang yang mencoba 'mendekati' saya.
Kebetulan lelaki ini teman kampusnya senior saya di Pesantren. Saat ia berhasil berusaha membuka jalan, saya peringatkan langsung bahwa targetnya ini tak mau diajak pacaran. Saya tantang keberaniannya sebagai lelaki.
Eh, dia ternyata bernyali.
Katanya dia minta waktu untuk membicarakan hal ini dulu pada ibunya. Minta restu istilahnya.
Beberapa hari setelah itu kami berkomunikasi lagi via messenger. Saat itu saya tak berani tanya-tanya tentang restu ibunya, karena saya istikharah saja belum. Masih menduga ini orang belum tentu mau serius.
Hari itu itu tiba-tiba ia bertanya, apakah saya pernah membantu seorang ibu-ibu sekitar setahun lalu, membantu menggambarkannya sesuatu. Di kampus kami.
Saya mencoba menggeledah satu persatu memori di kepala. Hingga akhirnya menjawab iya.
"Itu Mamak Abang ... "
Saya kaget bukan kepalang mendengar jawabannya.
"Bahkan beliau masih menyimpan gambar itu. Katanya gak nyangka kalau itu gambar calon menantunya. Beliau langsung bilang iya pas Abang minta restu .... jadi kapan kami bisa melamar?"
Antara tertawa, kaget, bingung, bagaimana takdir berkerja dalam kisah kami. Kisah dua anak manusia yang akhirnya memutuskan menikah. Dan telah melewati tahun ke sembilan hidup bersama, dengan segenap kisah penuh tawa dan air mata.
( Timit )
Akhirnya satu hal yang coba saya pahami. Bahwa kebiasaan burukpun ada manfaatnya kalau mau di 'olah'. Kebiasaan saya mengantuk di lokal, yang bikin saya suka gambar. Biar mata tetap terjaga.
Dan gara-gara menggambar. Ada kisah menarik.
Begini ceritanya.
Suatu saat ketika masih jadi mahasiswi--saat jam istirahat--seorang teman mendekati saya.
"Cap, bisa gambar kan? Tolongin ibu inilah. Kami gak bisa tolong."
Seorang perempuan paruh baya muncul dari belakang teman saya ini. Dari penampilannya, sepertinya beliau merupakan guru yang tengah ikut sertifikasi di kampus kami.
"Tolong saya lah Nak. Ibuk gak bisa gambar, kami disuruh gambar materi ajar. Contoh orang masuk masjid pakai kaki kanan ...."
Wajahnya terlihat benar-benar memohon, tak tega untuk ditolak.
"Tapi Buk, kalau gak bagus gak apa-apa ya." ucap saya sambil nyengir, memberi sebuah peringatan dini.
"Gak apa Nak, ibuk emang sama sekali gak bisa."
Akhirnya saya mengambil kertas yang diulurkannya, lalu mencoba mencoret-coret sesuatu.
Sambil menggambar, kami mengobrol basa-basi. Tentang dimana ibu tersebut mengajar, dimana saya tinggal, dan sebagainya. Hingga terungkap bahwa anak beliau menikah dengan kerabat kami. Rupanya kami mengenal orang yang sama, besan beliau merupakan tetangga kami.
Usai menggambar beliau pamit dan mengucapkan terima kasih. Katanya setelah masuk kelas, nanti beliau akan dijemput anak lelakinya.
Dan saya nyaris melupakan penggalan kisah ini hingga setahun setelahnya.
Ada seorang yang mencoba 'mendekati' saya.
Kebetulan lelaki ini teman kampusnya senior saya di Pesantren. Saat ia berhasil berusaha membuka jalan, saya peringatkan langsung bahwa targetnya ini tak mau diajak pacaran. Saya tantang keberaniannya sebagai lelaki.
Eh, dia ternyata bernyali.
Katanya dia minta waktu untuk membicarakan hal ini dulu pada ibunya. Minta restu istilahnya.
Beberapa hari setelah itu kami berkomunikasi lagi via messenger. Saat itu saya tak berani tanya-tanya tentang restu ibunya, karena saya istikharah saja belum. Masih menduga ini orang belum tentu mau serius.
Hari itu itu tiba-tiba ia bertanya, apakah saya pernah membantu seorang ibu-ibu sekitar setahun lalu, membantu menggambarkannya sesuatu. Di kampus kami.
Saya mencoba menggeledah satu persatu memori di kepala. Hingga akhirnya menjawab iya.
"Itu Mamak Abang ... "
Saya kaget bukan kepalang mendengar jawabannya.
"Bahkan beliau masih menyimpan gambar itu. Katanya gak nyangka kalau itu gambar calon menantunya. Beliau langsung bilang iya pas Abang minta restu .... jadi kapan kami bisa melamar?"
Antara tertawa, kaget, bingung, bagaimana takdir berkerja dalam kisah kami. Kisah dua anak manusia yang akhirnya memutuskan menikah. Dan telah melewati tahun ke sembilan hidup bersama, dengan segenap kisah penuh tawa dan air mata.
( Timit )
Sumber: Facebook Safrina Syams